A;A39-Hati mulai berbicara

3K 279 108
                                    

Big thanks yang selalu support cerita ini. Luv-luv buat kalian :*

Makin rame, makin seru iyakan? Jangan lupa vote dan komennya

:)))

KALAU ada polisi yang berjaga, mungkin sekarang Arven akan kena tilang karena melanggar peraturan. Mobilnya memacu di luar batas normal. Bahkan konyolnya dia tak peduli dan tetap mempertahankan kecepatan mobilnya yang memancing beberapa kalimat kasar pengguna jalan yang lain.

Ini salahkan pada pemilik rumah tujuan Arven sekarang. Setelah mendapatkan telepon yang menganggu waktu belajarnya, dia mengemudikan mobilnya seperti orang kerasukan. Bahkan begitu saja dia meninggalkan tugas sekolahnya yang baru dikerjakan setengah.

Oh demi apapun! Arven tidak pernah menyepelekan tugas cuma karena kekhawatiran tak jelas ini.

Decit rem beradu saat Arven harus menghentikan paksa mobilnya di luar area gerbang rumah Avisha. Itu karena mobil yang juga berhenti di depannya sekarang. Dia keluar, bersamaan dengan Darlan keluar dari mobil itu.

"Lo di sini?" Darlan tampak terkejut. Mungkin bingung siangnya Arven sudah ke sini dan sore menjelang malam dia sudah berada di sini lagi.

"Gue di sini karena harus ngasih pelajaran ke orang bego yang ninggalin adiknya sendirian!" Kalimatnya mungkin tenang, namun sorot tajam Arven tidak bisa berbohong.

Darlan tidak berusaha membela diri. "Gue tau gue salah. Tapi, gue terpaksa ninggalin ..."

"Karena temen?" Mudah untuk Arven menebak. Apalagi Darlan tak menepisnya. "Jadi menurut lo temen lebih penting dibanding adek lo sendiri?"

Keduanya berdiri sejajar. Darlan mungkin lebih muda darinya setahun, tapi tubuhnya cukup tinggi dan membuat keduanya cuma berbeda beberapa senti.

"Apa sebelum lo mutusin pergi, lo gak liat muka adek lo yang pucet? Dia sakit. Mungkin dia gak bilang ke gue atau ke lo. Tapi, gue aja bisa ngeliat dan sengaja pura-pura gak tau. Tapi lo ..."

"Terus kenapa lo gak coba nolak pas gue suruh pulang?"

"Karena gue pikir lo becus sebagai kakak!"

Itu lebih dari cukup untuk menohok Darlan. Setelahnya Arven berlalu pergi. Meninggalkan Darlan yang mengepalkan tangan. Mengakui jika sepenuhnya kesalahan memang ada padanya.

"Dimana Avisha Bi?"

Di dalam Arven langsung bertemu Bi Desi bersama nampan makanan yang kosong. "Non ada di atas, Den. Masih belum bangun. Cuma tadi udah diperiksa dokter. Terus tadi saya baru aja naruh mangkuk bubur dan teh hangat, biar pas bangun Non bisa makan dan langsung minum obat."

Arven mengangguk. "Bi Desi bisa panggilin Mbak Tia."

Bi Desi mengiyakan. Yang kemudian berlalu pergi ke dapur. Darlan menyusul di detik berikutnya.

"Ada kotak ..."

"Gue tau." Karena ituah tujuannya meminta Bi Desi memanggilkan Mbak Tia.

"Itu terror? Karena Mbak Tia bilang setelah liat kotak itu adek gue kayak ketakutan."

Arven baru ingin bersuara saat orang yang dimintanya sudah datang bersama kotak hitam itu. "Ini Den kotaknya." Arven menerimanya. Tatapannya dan Darlan jelas tertuju pada kotak berukuran sedang ini. "Saya belum buka Den, tapi kayaknya Non Visha takut banget sama kotak itu."

Setelah menggumam berterima kasih. Mbak Tia mengangguk dan berlalu pergi menuju dapur. Menyelesaikan tugasnya yang sempat tertunda.

Arven membukanya langsung. Menemukan secarik kertas berisi kalimat ancaman. Darlan sempat membacanya dan terbelalak tak menyangka.

|3| AfraidDonde viven las historias. Descúbrelo ahora