part 3

437 35 9
                                    

Pikiran Raya masih bertanya tanya. Kenapa ia dan Gita tidak boleh berlama lama di sekolah setelah pulang sekolah. Memang sih ia dan Gita tidak akan berlama lama karena tidak ada eskul untuk hari ini. Dan terlebih mereka berencana untuk pergi nonton.

Bel pulang sekolah berbunyi, Raya dan Gita yang memang sudah memasukan semua bukunya tadi 5 menit sebelum bel berbunyi langsung berlari keluar dan menuruni tangga.

"Gece Raya filmnya main jam 3 lewat 15 menit" Gita gemas akan tingkah laku Raya yang masih sempat sempatnya memainkan hapenya.

"Bentar gue kabarin nyokap dulu" jawab Raya masih dengan berdiam di tempat.

"Kan bisa pas di taxi nanti elah" Gita menarik Gita sambil menuruni tangga.

Setelah keluar pagar sekolah. Mereka berdua langsung mencegat taxi biru yang lewat. Tanpa pikir panjang mereka masuk ke dalam.

"Sekarang jam berapa?" Tanya Gita. Well sebenarnya sih yang berniat nonton itu Gita, Raya hanya menemaninya ia saja tidak tahu film apa yang akan ia nonton.

"Jam 3 kurang 15 menit." Jawab Raya yang tengah mengutak atik hapenya.

"Anjir anjir semoga ga macet deh amin." Heboh Gita sendiri.

Kali ini keberuntungan sedang berpihak ke Gita, jalanan yg taxi mereka lewati lancar total. Seperti dugaan Raya, Gita dan ia akan berlari lari setelah taxi mereka brhenti di pintu utama. Susana mall kali ini lumayan ramai dengan anak anak yang masih berbalut seragam, maklum sudah jam pulang sekolah.

----

"Lain kali gausah ajak gue nonton." Ucap Raya sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

"Ih tapi seru kan, tegang gitu"balas Gita dengan mata berbinar binar.

"Ah bodo ogah lagi gue nonton sama lo"

"Kejam banget sih Ray, kan lumayan tes mental"

"Tes mental apaan, gue jantungan pas setannya keluar." Raya menghela napas.

"Eh lo balik gimana?gue di jemput Ka Rani dia lagi disini juga." Ucap Gita sambil mengutak ngatik hapenya, mungkin mengubungi Ka Rani kakak perempuan satu satunya Gita.

"Taxi kayaknya, bang agus gabisa jemput kalo jam segini. Gue duluan deh takut ke maleman. Duluan yaahh" Raya melambaikan tangannya ke Gita.

Entah kenapa Raya merasa dirinya paling jomblo, di setiap perjalanan menuju tempat taxi banyak sekali pasangan yang melewatinya. Yang memakai pakaian bebas maupun seragam sekolah. Dasar.

"Komplek Libra nomor empat belas ya pak." Ucap Raya setelah menutup pintu belakang. Salah satu kebiasan Raya, duduk di bagian belakang mobil entah kenapa ia tidak pernah menyukai untuk duduk di depan.

"Iya dek." Balas supir taxi lalu menjalankan mobil.

Tiba tiba saja Raya teringat tugas Geografi, ia membuka tas ranselnya seraya mencari lembar soal. Entah ia taruh mana yang jelas tidak ada di tasnya saat ini.

Shyit, umpatnya

Ia teringat akan Hanif yang berniat memfoto soalnya dan ia yakin tugas itu ada di meja kelasnya.

"Pak, gajadi ke komplek libra deh pak ke SMA Jingga aja yg di kelapa dua." Ucap Raya pasrah.

"Gajadi nih neng." Supir taxi melirik ke spion atas.

tadi dek sekarang neng, semerdeka lo dah pak.

"Iya pakk ada yang ketinggalan"

"Oke neng, untuk belom lewat terowongan jadi gaharus puter balik."

Raya balas dengan senyun lemas.

Setelah sampai Raya menyerahkan uang dua puluh ribu dengan sepuluh ribu. Sudah tidak ada orang lagi di lapangan, aneh biasanya jam segini masih ada beberapa murid yg eskul futsal. Untung kelas Raya berada di lantai dua dengan lari kecil ia menaiki tangga. Benar saja kertas soalnya ada di atas mejanya pasti tadi Pak Sudi yang menaruh setelah selesai membersihkan kelasnya. Lalu ia kembali ke lantai dasar.

Ia mengecek notif di hapenya yang tidak lain adalah grup line kelasnya, line dari Gita yang tidak penting, line dari abangnya, bbm dari mamanya, dan yang paling terakhir sebuah sms masuk yang berhasil membuat matanya membulat.

Belum sempat berfikir, otaknya masih belum berjalan dengan baik. Ada sengatan tersendiri saat jemarinya tidak sengaja membuka pesan itu. Perutnya mulas secara tiba tiba, tenggorokannya tercekat. Dengan susah payah ia menelan ludah. Entah kenapa ludahnya sangat keras seperti ada batu di dalam tenggorokannya.

"WOI MUNDUR" teriakan seseorang mengagetkan Raya. Ia bisa melihat beberapa orang berseragam putih abu abu dan menggenggam benda. Itu kayu dan besi.

Lalu Raya melihat Arga yang berada di depan rombongan, dengan baju yang berantakan dan tatapannya turun ke tangan Arga. Ada sepotong besi di tangannya.

Matta Raya memancarkan kekagetan yang luar biasa.

"Arga.." entah kenapa suara Raya lebih mirip hembusan angin di antara teriak teriakan rombongan di depannya.

"ARGA!!!" Ucap Raya yang lebih mirip teriakan.

Lalu beberapa kepala melihat dirinya. Melihat ada anak perempuan yang masih berada di sekolah dengan tangan memegang kertas putih. Arga yang menyadaru itu Raya langsung berlari menghampirinya.

"Lo ngapain disini kan gue udah bilang--"

"Lo tawuran?" Arga bisa melihat ada kekecewaan di matanya, perasaan sedih marah kaget bercampur disitu. Dan memang benar apa kata orang kalau mata tidak pernah bohong.

"Ikut gue" Arga menarik salah satu tangan Raya, menuntunnya masuk lagi ke dalam sekolah dan memasuki salah satu kelas yang kosong.

Hening. Itu yang terjadi di antara mereka.

"Lo ngapain disini?" Tanya Arga dingin.

"Lo ngapain ikut tawuran?" Bukan jawaban yang ia lontarkan malah Raya bertanya balik dengan sengit.

"Emang salah kalo tawuran?" Kedua alis Arga terangkat.

"Salah." Jawab Raya cepat.

"Trus kenapa kalau salah?"

"Bukan urusan gue sih" ucap Raya acuh, hanya saja ia tak berhasil menyembunyikan wajahnya. Sadar akan tidak punya alasan yang logis Raya berdiri dan meraih tasnya.

Di belakangnya Arga berusaha untuk menahan tawanya. "Lo gabisa balik. Jalan dari depan gerbang ampe depan komplek di blokir SMA Senja."

Raya membuka mulutnya berniat ingin protes tapi sepertinya percuma. Lalu dengam kesal ia duduk kembali ke kursi yang sempat ia duduki.

"Gue anterin tenang." Ucap Arga santai.

"Gimana gue bisa tenang kalo gue kejebak tawuran dan sekarang gue lagi sama salah satu pentolannya." Oceh Raya. Takut, itu yang ia rasakan ada alasan tersendiri mengapa Raya sangat takut sekarang ini.

"Lo takut sama gue?" Suara Arga mengecil. Bahkan lebih mirip bisikan.

"Gue benci orang tawuran." Jawab Raya pelan. Tanpa di duga air matanya turun. Yang ia butuhjan saat ini adalah kamarnya. Ia butuh kasur empuk dan guling biru kesukaannya.

Lalu entah Arga sadar atau tidak kedua lengannya melingkar, memeluk tubuh Raya yang sedang rapuh. Dan mengelus puncak kepalanya. "Berarti lo harus bikin pengecualian buat gue."

RayaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ