Music Taste (New Part)

669 48 2
                                    

Anggina

           Kelas baru, suasana baru. Bener kata kakak-kakak kelas yang udah lulus, gedung kelas 11 itu memang yang paling istimewa. Entah dari tataan ruang nya, entah dari bangku nya yang berkelas, entah dari loker nya yang selalu baru. Kelas gue yang sekarang beda banget dari kelas waktu kelas sepuluh. Kelas sepuluh bener-bener kelas spek kandang babi.

Pertama, bangku kayu yang sudah terkelupas.

Kedua, loker nya dari kayu yang sudah tidak layak di sebut loker karena pintu nya sudah banyak yang copot dan bolong-bolong.

Ketiga, meja guru nya pun isi coretan.

Masih banyak alasan lain kenapa gue nggak suka kelas satu tahun yang lalu. Dimana-mana pasti ada coretan, dari coretan ringkasan materi—untuk orang-orang yang menyontek saat ulangan, coretan para buciners—sebagai contoh: 'Adi Ria cinta abadi'—gue berani sumpah kalau gue pernah menemukan coretan modelan begitu, di tambah lagi coretan tak layak diucap—ya...taulah pasti.

Di kelas baru ini, pencahayaan nya bagus, gorden nya baru dan yang pasti bersih dari coretan-coretan beragam itu.

"Loh, kalian?!" teriak sosok gadis. Gue yang awalnya masih menatap norak kelas baru ini sontak menoleh ke sumber suara.

"Lah, Rania, Chilsya?" kaget gue, sekaligus bingung. Sejak kapan mereka satu SMA sama gue?

"Kalian sekolah disini?" tanya Rania bingung. Gue, Tania dan Wimas juga sama bingung nya.

"Harus nya gue tanya itu juga," jawab Wimas. Sekarang gue mengerti kenapa SMA Laksana Mandiri ini mempunyai peraturan rombak kelas, biar manusia yang kita jumpai di kelas nggak itu-itu aja.

"Wajar sih lo bertiga nggak sadar gue sekolah disini, soalnya gue sama Rania selalu di kelas, hahaha,"

Gue mengangguk paham, "Kalian duduk dimana? Deketan aja duduk nya," ajak gue.

Rania menunjuk tempat duduk nya dengan Chilsya. Rania dan Chilsya ini adalah teman gue dari SMP, bisa dibilang mereka adalah teman gue setelah Tania dan Wimas. Dua wanita ini bisa dibilang pintar makannya gue nggak heran jika Rania dan Chilsya memilih duduk di bangku nomor dua dari depan.

            Berhubung gue dianugrahi otak yang pas-pas-an dan jiwa belajar yang 'sedikit' perlu effort untuk mengumpulkan nya, gue memilih duduk di bangku paling belakang. Omong kosong mau duduk deketan dengan Rania dan Chilsya.

"Lo mah mau duduk di belakang biar bisa buka warung, kan?!" sinis Tania yang sudah hafal kebiasaan gue. Buka warung yang dimaksud itu adalah makan dengan leluasa sewaktu guru mengajar, paling belakang biasanya paling ternistakan dari mata tajam guru.

"Kenapa? Iri lo?" sombong gue. "Tadi aja nggak mau duduk sama gue, sekarang jangan iri ya bos,"

Baru saja gue melihat Tania hendak memelas, Wimas langsung menarik Tania untuk duduk d bangku depan gue bersama nya. "Lo giliran duduk sama gue, tahun lalu gue udah sendiri!"

Gue tertawa meledek untuk Tania karena kesempatan nya untuk join ke warung gue gagal.

Awalnya gue merasa tenang-tenang aja mendapat kelas senyaman ini, tapi tepat saat mata gue menatap pintu—lebih tepatnya menatap orang masuk, seketika gue sedikit malas. Tiga cowok tadi, Angga, Panji dan Riyo, rupanya mereka sekelas sama gue sekarang. Nggak—gue nggak benci kok. Hanya saja urat gondok gue belum bisa lepas kalau lihat muka si cowok penyiku itu.

"Oh, wow! Kita sekelas!" seru Panji. Let's bet, I can definitely be good friends with him. Panji dilihat-lihat orang yang asik. Beda sama si cowok penyiku itu—si Riyo maksudnya.

ThirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang