Meja Hijau

198 11 1
                                    

Riyo

"Gimana keadaan Anggina?" tanya Geya dengan ekspresi yang buat gue gugup seketika. Gue pacarnya, gue sudah mulai paham bagaimana sikap Geya. Dia orangnya suka overthinking, nggak heran kenapa setiap gue nongkrong selalu disuruh pulang cepat. Tapi yang buat gue gugup sekarang adalah Geya kelihatan lagi mikir yang aneh-aneh soal gue dan Anggina.

"Udah pulang daritadi sama Andrian,"

"Terus kenapa kamu di sini? Kenapa nggak temenin dia?" nada bicaranya buat gue berasumsi kalau Geya memang lagi overthinking.

"Aku mau anterin kamu pulang. Lagian udah ada Andrian, Panji, Angga, Tania sama Wimas bareng Gina," jawab gue berusaha santai.

Geya nggak menjawab apa pun, dia pergi begitu saja menuju parkiran tanpa mengajak gue seperti biasanya. Cewek kalau sudah gini itu kenapa ya? Masak iya dia cemburu hanya karena gue nolongin sahabatnya yang pingsan? Selama perjalanan Geya juga nggak ngomong apa-apa, biasanya dia pasti sudah cerita banyak tentang hal-hal kecil yang terjadi di hari itu tapi sekarang nggak sama sekali. Gue mendadak tegang, takut dan gugup secara bersamaan saat sudah sampai di rumahnya dan Geya nggak langsung turun dari mobil sambil mengatakan 'Mampir dulu yuk'. Geya benar-benar diam dengan tatapannya ke depan, pacar gue ini nggak seperti biasanya. Geya kenapa ya?

"Kita udah nyampe," ucap gue hati-hati, siapa tahu dia nggak sadar kalau sekarang sudah di depan rumahnya.

"Riyo," caranya panggil nama gue saja beda banget, ini gue harus bagaimana?

"Iya?"

"Am i really your girlfriend?"

Jeng. Geya lagi overthinking dan ini karena gue.

"Kamu lagi mikir apa? Coba cerita,"

Geya menghela nafas, "Aku nggak suka kamu sedeket itu sama Anggina,"

Baru kalimat pertama saja nafas gue langsung tercekat.

"Ini nggak sekali dua kali aja aku rasain, tapi berkali-kali, Yo. Bahkan di samping pacar kamu sendiri aja kamu masih bisa natap Anggina terus,"

Gue kaget, langsung kaget. Entah kenapa gue nggak bisa melakukan pembelaan apa-apa karena yang dibilang Geya memang benar adanya.

"Berhari-hari aku mikir kalau kamu cuman sahabatan dan lain sebagainya, tapi makin kesini sahabatan kamu sama Anggina itu udah nggak wajar menurut aku. Waktu kamu keluar dari ruang BK, tatapan kamu itu seolah-olah lagi cari seseorang yang nungguin kamu selain aku. Aku sadar itu dan aku juga tahu siapa yang kamu cari, Anggina kan?"

Benar kata orang, perempuan memang punya keahliannya sendiri untuk tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Geya benar, gue memang mengharapkan Anggina juga ikut menunggu di depan ruang BK dan bertanya tentang keadaan gue saat itu, makannya gue cuman bisa diam dan nggak melakukan pembelaan apa-apa sekarang.

"Anggina tadi pingsan, Andrian udah mangku dia dan tau cara ngatasin keadaan sahabatnya itu gimana. Tapi kamu keliatan khawatir banget, benar-benar khwatir sampai kamu gendong dan bawa kabur Anggina gitu aja. Bu Angga sampe kira Anggina itu pacar kamu.

Gue hanya diam karena percuma gue bela diri gue sendiri. Geya nggak bakal ngerti kenapa gue sekhawatir itu sama Anggina karena dia nggak tahu masa lalu almahrum Bunda Anggina, gue nggak akan bisa tenang kalau Anggina berakhir kayak Bunda nya dulu.

"Nggak cuman Bu Angga yang tanya ke aku apa kalian berdua pacaran, anak kelas lain juga tanya hal yang sama ke aku, Rania, Chilsya bahkan ke Tania dan Wimas. Mereka tanya apa kamu sama Anggina pacaran soalnya mereka sering liat kamu samperin Anggina di koridor loker. Terus sekarang apa pembelaan kamu? Kamu suka sama Anggina atau aku?"

ThirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang