6. Sakit

3.1K 155 1
                                    

Jujur saja. Dulu, lebih tepatnya sebelum mengenalmu. Hati ini masih baik-baik saja.

®BilaNandara

•────────────•
[SUDAH DIREVISI]

Dari arah Utara, lelaki berbadan jangkung tampak tergesa-gesa mencari seseorang yang tak kunjung ditemukan. Lelaki itu tampak menyesali kejadian tadi malam setelah dengan teganya meninggalkan gadis yang dia ajak makan malam bersama—tapi justru dia tinggal hanya demi mantan gebetannya.

Lelaki itu mengacak rambutnya frustasi dan berkali-kali memukul tembok membuat tangan kekarnya berwarna merah. Dia harus bagaimana lagi? Sekarang dia sadar bahwa dirinya salah. Membiarkan seorang gadis pulang malam dengan sendirian—seakan situasi itu memberi gambaran bahwa dia bukanlah lelaki yang bertanggung jawab.

Bara menggeram, kembali mengangkat ponsel dan mencoba menghubungi seseorang di balik sana. Hanya inilah cara terakhir yang bisa lakukan.

Bara mendesahkan napas frustasinya ketika nomor yang dituju tidak kunjung aktif. Namun, sepertinya kesempatan masih berpihak padanya saat mata hitam pekat itu berhasil menangkap sosok gadis berambut pirang lurus. Sedangkan Ranum yang hendak berbelok ke arah perpustakaan mendadak kaget ketika tangannya ditarik oleh seseorang. Gadis itu pun menoleh kesal.

"Apa sih?!-" Wajah sewotnya mendadak berubah ekspresi ketika mengetahui orang tersebut adalah Bara.

Melihat reaksi Ranum yang seperti itu membuat Bara dengan cepat melepaskan genggamannya. Tapi berbanding terbalik dengan Ranum yang merasa tak enak karena membentaknya.

"Maaf? Gue kira tadi siapa, ternyata elo." Ranum terkekeh, yang mau tak mau harus dibalas kekehan oleh Bara agar enak di pandang. "Oh, ya, kenapa? Nggak biasanya lo narik-narik tangan gue gini?" tanya Ranum heran.

"Temen lo mana?" tanya Bara langsung ke intinya.

Ranum mengernyit heran. "Temen yang mana? Temen gue banyak kali. Lo juga temen gue," balas Ranum ditemani suara decakannya.

"Haduhh! Kalau itu juga gue udah tahu. Maksud gue ... Bila ke mana?" tanyanya lagi yang kini sudah mampu dimengerti oleh Ranum. Apabila gadis itu belum mengerti, bisa saja Bara menabok kepalanya dengan botol bekas.

"Oh ...." Ranum mengangguk-anggukan kepalanya pertanda paham. "Kenapa musti nyariin Bila? Kenapa nggak nyari gue aja?" tawar Ranum sambil tersenyum menggoda.

"Aww!!" Gadis itu menjerit saat Bara menabok kepalanya menggunakan botol rongsok, yang barusan dia pungut karena gadis itu kebanyakan bacot.

"Udah buru! Bila ke mana?" tanya Bara tidak sabaran. Ya wajar sih, karena menunggu itu melelahkan.

"Dia nggak berangkat. Katanya, sih, sakit," jawabnya yang membuat mata Bara melotot kaget.

"Lo serius?!" tanya Bara memastikan.

"Iyalah, emang muka gue ini nggak ada tampang-tampang seriusnya apa?" sungut Ranum.

"Rumah dia di mana?" tanya Bara tak memperdulikan ocehan Ranum.

"Eits! Mau ngapain? Jangan bilang lo mau ngejenguk dia?" selidik Ranum. "Kalau iya ...." Gadis itu menaruh jari telunjuknya di dagu, lalu menatap Bara dengan tatapan horor. "Mendingan nggak usah, deh."

Tangan Bara terkepal kuat. Andai yang di hadapannya saat ini bukanlah seorang perempuan, mungkin Bara sudah mengeluarkan pukulannya.

Bara menghembuskan napasnya pelan, berusaha mengontrol emosi. "Emang kenapa?"

"Ya, nggak papa, sih... cuma Bila nggak mau aja ketemu sama lo."

"Hm?" Bara mengerutkan dahinya. Apa mungkin Bila sakit karena kejadian semalam? Atau jangan-jangan terjadi apa-apa padanya selagi dia pulang sendiri hingga akhirnya jatuh sakit? Atau mungkin, Bila cemburu karena melihat kejadian semalam sewaktu lelaki itu memeluk Jesika? Bisa saja hal itu memang kenyataannya yang bisa dijadikan alasan mengapa Bila jatuh sakit. Tapi tidak mungkin! Sebab Bara yakin saat itu Bila tidak memperhatikan kedekatannya dengan Jesika.

Garis wajah Bara mengeruh, menandakan rasa cemas yang cukup ketara apabila di pandang mata. Selain rasa bersalah, Bara juga takut Bila kenapa-napa. Oh, ayolah! Bila hanya masuk angin berhubung cuaca lagi tidak stabil. Tidak boleh berpikir jauh! Karena tugas saat ini adalah, meminta maaf kepada Bila dan berusaha menjaganya-hitung-hitung tanda permohonan maaf, juga.

•────────────••────────────•

Sudah berkali-kali Bila berganti posisi tidur untuk meregangkan tubuh yang terasa kaku dan juga ngilu. Bila tampak begitu bosan di kamarnya yang hanya ditemani oleh si ucul boneka kesayangannya.

Soal tadi malam, Bila masih kepikiran. Tapi untungnya Jovan datang dan berusaha menenangkan segala pikiran-pikiran yang justru mampu menurunkan kondisi kesehatannya. Dan ketika tahu Bila sakit, Jovan juga rela absen ke sekolah hanya untuk menjaganya. Salah satu alasan mengapa Bila begitu menyayangi Jovan karena perhatian lelaki itu selalu berarti di mata Bila. Selain maklum karena Bila hanya ditemani asisten rumah tangga ketika orangtuanya sibuk bekerja, Jovan-pun tak luput ingin selalu ada untuk menjaga Bila.

Merasa pintu kamarnya terbuka, Bila-pun menoleh dan menatap sosok Jovan yang tengah membawakan nampan yang berisi bubur polos dan air putih. Setelah itu Bila kembali manatap lurus dengan pandangan kosong.

Jovan yang melihatnya jadi merasa terpukul.

Jovan menaruh nampannya di atas nakas, lalu duduk di samping Bila seraya merangkul bahu gadis itu. "Masih patah hati aja lo?" tanya Jovan.

"Apa, sih?! Siapaa juga yang patah hati?" sungut Bila, merunduk sambil mengerucutkan bibir.

"Udahlah jujur aja!" Kini, Jovan tidak lagi merangkul Bila melainkan mencekik leher gadis itu hingga dia menjerit.

"TOLONGG! LEPASIN GUEE!"

"Yailah lebay!" cerca Jovan, kemudian melepaskan cekikannya dari leher Bila.

Memang dari tadi Jovan mencium aroma-aroma keanehan pada diri Bila. Bila yang biasanya suka mencari keributan dengannya, kini hanya memilih diam dan bahkan sebisa mungkin memilih kalah agar tidak terjadi keributan. Seolah gadis itu sedang menyukai fase keheningan.

"Kalau nggak mau patah hati mending lupain," seru Jovan menyindir, dan sukses membuat gadis itu menoleh sepenuhnya ke arahnya.

"Kalau nggak bisa dilupain?" tanya Bila melihat keseriusan di wajah Jovan.

"Ya lo coba ngehindar, lah!" balas Jovan, lalu Bila mengangguk paham. "Siapa tahu aja dia bakal nyesel karena pernah nyakitin lo." Lanjutnya.

Seketika ide di otak Bila muncul setelah Jovan berkata seperti itu.

Habis ini, babay sudah yang namanya patah hati. Bila tidak mau lagi deket-deket sama yang namanya Bara. Masa iya dia yang ngasih harapan dia juga yang ninggalin? Sungguh menyayat hati! Ibarat kalian baru menang undian, dan ternyata semuanya hanya hoax. Oke, mulai dari sekarang Bila akan memutuskan untuk menghindari Bara dan sebisa mungkin cuek kepadanya.

Tapi ....

Main perasaan dulu kayanya enak tuh! Ya, biar dia ngerasain aja gitu apa yang Bila rasain. Dan sepertinya tidak mungkin kalau tiba-tiba Bila menghindar dari Bara. Bila harus menyusun rencana baru.

Bila menyeringai selepas itu. "Nggak pantes buat yang namanya Bila kalau tiba-tiba ngehindar gitu aja! Coba cara lain dong biar enak."

"Cara apa?" tanya Jovan polos.

•────────────•

𝗗𝗶𝗳𝗳𝗶𝗰𝘂𝗹𝘁 ✔Where stories live. Discover now