Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

Part 2: Hidup Berjuta Rasa

31.6K 2.4K 70
                                    

PUKUL delapan pagi, Kantor Cabang Utama Tanah Abang sudah ramai dengan kesibukan masing-masing para karyawannya. Bekerja di perusahaan perbankan merupakan salah satu harapanku sejak duduk di bangku SMA. Rasanya keren saja, ketika melihat orang-orang mengenakan seragam kebesaran salah satu bank di Indonesia.

Nationtrust Bank adalah pengalaman pertama dari daftar riwayat pekerjaan tetapku. Selesai sarjana, aku memutuskan untuk mendaftarkan diri guna mengikuti serangkaian tes di perusahaan tersebut. Aku berharap banyak agar bisa diterima di sana dan jalanku sempurna. Aku berhasil lolos ke tahap berikutnya. Setelah itu, selama dua tahun aku mengikuti Training Development Program di Nationtrust Bank, lalu masuk ke divisi Pengembangan Bisnis sebagai Account Officer sampai sekarang.

"Riv, ada nasabah telepon nyariin kamu nih. Saya transfer ke ekstension kamu, ya," kata Mbak Alea. Aku hanya mengangkat ibu jari ke arah Mbak Alea karena aku pun sedang online via ponsel. Usai berbicara di ponsel, aku segera mengangkat telepon yang disambungkan Mbak Alea.

"Selamat pagi Nationtrust dengan Rivka bisa dibantu?"

"Pagi Mbak, saya Andre yang kemarin ngajuin kredit. Saya sudah melengkapi surat-surat yang dibutuhkan oleh pihak bank, lalu apa lagi langkah selanjutnya?"

Ini berita bagus. Saat calon debitur telah setuju, maka tugasku harus segera membuat Surat Penawaran Kredit sesuai dengan persetujuan antara kedua belah pihak. Kenapa harus segera di-follow up? Karena bisa saja pada tahap ini, calon debitur tiba-tiba berpikir ulang akan kesepakatan tadi dan kemudian membatalkannya. Lebih parah lagi, calon debitur akan pergi ke kompetitor bank lain.

"Bapak ada waktunya kapan? Bisa kita atur jadwal untuk bertemu?"

"Sore ini bisa, kok, Mbak. Saya ada di sekitar Jakarta Pusat, kalau Mbak tidak keberatan bisa ketemu di Jingga Coffee Menteng."

"Mohon maaf Pak, itu enggak kejauhan? Saya di Tanah Abang."

"Oh iya, saya lupa. Kalau di Sensasi Coffee, bisa?" Pak Andre menyebutkan salah satu coffee shop di Grand Indonesia.

Aku berpikir sejenak, GI boleh lah. Setidaknya jarak menuju ke sana enggak sejauh kalau aku ke Menteng.

"Boleh Pak, bisa kok."

"Oke Mbak, jam empat di sana, ya. Terima kasih, Mbak Rivka."

"Sama-sama Pak Andre. Terima kasih, selamat pagi." Aku menutup telepon lalu menyandarkan punggung ke kursi sembari tersenyum puas.

"Seneng bener yang mau ketemu sama nasabah," cicit Daniar yang baru saja melewati kubikalku.

"Iya dong, target Dan." Aku menyahut, kali ini dengan senyum semringah. "Dari mana lo?"

"Dari teller, nyetak buku," jawabnya.

"Eh, iya gue juga belum nyetak. Rame enggak, Dan?"

"Rame Riv, biasa lah udah tanggal gajian banyak nasabah yang setoran. Nanti aja ke bawahnya, atau nitip Pak Abas aja!"

"Okelah, makasih sarannya, Dan. Kayaknya nanti aja, deh. Lagian enggak urgent banget kok," kataku menjelaskan.

Tradisi mencetak buku tabungan setiap bulan memang sudah biasa kami lakukan. Salah satu alasanku untuk datang ke teller adalah karena bekerja di bank. Kalau bukan karena hal itu, sepertinya aku agak malas untuk ikutan antre.

"Nanti makan siang di mana?" tanya Daniar yang sudah duduk di kubikalnya, tepat di sebelahku.

"Masih pagi udah ngomongin makan siang aja," sindirku seraya menatap layar komputer yang sedang membuka aplikasi data entry nasabah.

Target RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang