LIMA

580 284 955
                                    

Setelah percakapan singkat tadi, Angkasa terjaga sepanjang subuh. Cowok itu duduk di tepi ranjang, menghadap sinar matahari yang berangsur-angsur menembus celah-celah gorden. Angkasa memang bodoh. Namun setidaknya dia cukup pintar untuk langsung mengerti maksud Brandon.

Jangan sampai dia mengetahui yang seharusnya tidak diketahui?

Pasti mengenai ruang rahasia itu, tempat Angkasa menyimpan semua karya lukisnya diam-diam. Sebab dari sejak cowok itu masih berupa zigot sampai detik ini, Brandon sangat menentang hobi melukisnya. Ada saja cara pria tua itu untuk membuat putra tunggalnya berhenti menyentuh kuas. Mulai dari menyewa bodyguard profesional, membebaninya dengan berbagai pekerjaan ringan yang menyangkut manajemen perusahaan, sampai merusak benda-benda pribadinya andaikata ketahuan.

Ya, Brandon memang seposesif itu bila membahas masa depan Angkasa.

Berulang kali Angkasa mencoba berpikir positif. Mungkin saja Brandon takut ia akan merusak reputasi keluarga di mata masyarakat. Mungkin Brandon salah paham dia berbuat macam-macam di Swiss. Dan mungkin-mungkin lainnya, meski tetap berujung pada hipotesis yang pertama. Angkasa sadar dia punya firasat yang kuat. Dengan kata lain, keresahan yang sudah merenggut waktu istirahatnya ini harus segera diatasi.

Angkasa bangkit berdiri. Mandi sebentar mungkin bisa memperlancar kinerja saraf-saraf otaknya. Saat hendak memilih baju untuk dipakai nanti, atensinya tak sengaja tertuju pada ponsel yang bergetar di atas nakas. Angkasa bergegas meraihnya begitu melihat siapa yang menelpon. Dan tepat saat itu juga, Angkasa menemukan penyelesaian.

"Halo?"

"Halo. Maaf, Tuan sudah menelpon sepagi ini. Saya hanya ingin memastikan Tuan sudah bangun karena hari ini kepulangan Anda ke Indonesia."

"Terima kasih sudah memperhatikanku. Aku sudah bangun dari tadi."

Pandangan Angkasa tak kunjung lepas dari kartu nama yang terapit di sela jari tengah dan telunjuknya. Harap-harap semoga ia tidak salah mengambil keputusan.

"Ngomong-ngomong, Virgo. Boleh aku minta tolong untuk yang terakhir kalinya?"

"Silahkan saja, Tuan."

"Soal barang yang kusuruh kau kemas kemarin, bisa kau titipkan semuanya kepada salah seorang dosenku di kampus? Aku akan ikut bersamamu nanti jika semuanya sudah selesai."

"Maksudnya? Anda ingin saya meninggalkan barang-barang itu di Swiss? Pulang tanpa membawanya?"

"Simpelnya begitu."

"Kalau boleh tahu kenapa tiba-tiba sekali, Tuan?"

"Tak ada. Hanya firasatku saja. Tolong bergegas. Kita harus berangkat pukul sebelas nanti, kan?"

"A—ah baiklah. Akan segera kulaksanakan, Tuan."

Tit!

~•^Δ^•~

"Woi!"

"Anjir!" umpat Vanilla spontan. Matanya menoleh ke asal suara. "Bella!" pekiknya girang begitu tahu siapa yang mengagetkannya.

Vanilla langsung berdiri dan memeluk erat sahabat lamanya itu. Menumpahkan rindu setelah hampir dua tahun tak bertemu. Selain terpisah oleh jarak, masing-masing dari mereka juga sudah disibukkan dengan tugas akhir sebagai syarat kelulusan. Tak heran bila senyum yang terbit di wajahnya bertahan lama. Padahal rasanya baru kemarin Vanilla berniat kabur dari rumah.

8 LETTERS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang