DELAPAN

313 72 533
                                    

Niat awal ingin memulai pagi dengan senyuman, nyatanya malah bete sepanjang pembelajaran. Vanilla tak henti-hentinya menggerutu sambil sesekali mengumpat kasar, sedangkan tangannya sibuk mencoret-coret bagian belakang catatan. Materi yang disampaikan dosennya bahkan memantul sebelum sempat diserap otak.

Quena yang duduk tak jauh darinya dibuat heran. Apalagi Vino yang tepat di sampingnya. Beberapa kali cowok itu bertanya, namun Vanilla tetap meneruskan omelannya. Setelah kelas bubar, barulah Vanilla menjawab, "Ponsel gue gak kecolok anjir."

Tawa Vino nyaris meledak. "Gitu aja? Aku bawa power bank. Mau minjem?"

"Mana sempat, keburu telat."

"Telat kenapa?"

"Udah gue cas di rumah."

Vino cuman ber-oh ria.

Vanilla bergegas menyimpan semua perlengkapannya ke dalam tas. Diikuti Vino yang sudah duluan ke parkiran untuk menghidupkan mobil. Sebelum benar-benar pergi, ia menyempatkan diri untuk berbincang sejenak dengan Quena. Mengingat gadis itu adalah teman barunya, rasanya tak etis bila pergi tanpa menyapa.

Quena lebih dulu menghampiri dan membuka obrolan. "Hai, Va. Tadi lo kenapa?"

Dahi Vanilla berkeriput. "Tadi? Apanya?"

"Yang tadi lo baca mantra."

"Oh ...." Vanilla menyengir. "Kesel aja pas bangun ponsel gue lowbat. Padahal udah gue cas tau-taunya gak kecolok."

Quena terkekeh pelan. "Ceroboh banget sih lo."

Wanita bermarga Lamonda itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Hehe, ya biasa lha. By the way, lo ada kemana-mana gak sehabis ini?"

"Ehm, gatau juga. Liat sikon, sih. Kalau bosen ya gue keluar. Lo sendiri?"

"Ha—"

Drttt ... Drttt ...

Panggilan masuk dari Vino. Pria itu pasti sudah menanti lama. "Maaf ya, gue cabut dulu. Bye, Na!"

"Oke, oke. Bye!" balasnya, tak lupa melambaikan tangan sebelum Vanilla ditelan kejauhan.

Berjalan menyusuri koridor penuh loker, Vanilla mengabaikan sapaan beberapa cowok yang berpapasan dengannya. Kaum adam di tempatnya menuntut ilmu memang buaya darat. Bening sedikit saja langsung disambet. Vanilla harus menahan diri supaya tidak mudah tergoda oleh mereka. Belok kanan keluar dari gedung, ia tiba di parkiran. Sebuah Porsche Cayenne berwarna kuning cerah berhenti di depannya. Vanilla lantas masuk dan duduk di kursi sebelah kemudi.

Vino memanuver setir membelah jalanan kota. Siang hari begini biasanya lalu lintas rawan macet. Banyak murid-murid berseragam sekolah yang berserakan di trotoar menunggu jemputan. Ada pula yang terlihat membeli jajanan di pinggir jalan, atau sekedar mampir ke kantin. Ah, Vanilla jadi rindu masa-masa remaja. Saat itu adalah saat-saat paling sempurna dalam fase hidupnya. Belajar, berbuat onar, kantin, berteman, menjalin asmara, merupakan kesan paling mendalam yang ia ingat hingga sekarang. Andai bisa, Vanilla ingin kembali ke sekolah dasar.

Tapi tidak.

Ibarat ulat yang berubah menjadi kupu-kupu, kini Vanilla telah beranjak dewasa. Kendati demikian, pola pikir dan kebiasaannya tidak pernah berubah. Masih kekanak-kanakkan dan sensitif menyangkut masalah hati.

8 LETTERS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang