03

21 1 0
                                    


"Pagi Ayah, Bunda!" seorang gadis berkulit pucat dengan balutan kemeja putih dan rok abu-abunya berjalan menuruni tangga, di duduk di meja makan yang sudah lebih dulu ditempati oleh kedua orang tuanya.

"Pagi Cantik!" balas Ayahnya, sedangkan wanita yang dipanggilnya Bunda hanya tersenyum tipis sambil menyendokkan nasi goreng kedalam kotak bekal Ratih.

"Gimana sekolah kamu Cantik?" Ayahnya bertanya, pria berumur lima puluhan itu mengelus rambut putri bungsunya dengan sayang.

"Sekolah Ratih baik Yah," Ratih mengangkat jempol tangan kirinya, tangan kanannya menyambut kotak bekal yang diulurkan Bundanya. "Ratih berangkat!" katanya mengulurkan tangan, menyalim Ayah dan Bundanya bergantian.

"Hati-hati," pesan Bunda Ratih, Ratih mengangguk semanngat.

Terpancar senyuman manis di bibir tipisnya yang pagi ini terlihat lebih merah. Ratih sengaja memoleskan lipbalm ke bibirnya agar terlihat lebih menawan. Hari ini Arilyo berjanji akan menjemputnya, dia yakin Arilyo tidak akan ingkar janji. Karena Arilyo bilang mobilnya sudah memasuki komplek perumahan Ratih.

Ratih tersenyum menatap neneknya di seberang sana yang sedang menyiram tanaman, RAtih berlari menghampiri neneknya. "Nenek!" panggilnya.

Rumah Ratih dengan neneknya memang bertetangga dikarenakan Ayah dan Bunda Ratih dulu bertetangga, rumah yang sekarang ditempati Ratih adalah rumah orangtua Ayahnya, sedangkan rumah nenek dari Bundanya masih ditempati neneknya yang sudah renta.

Ayah dan Bunda RAtih sejak kecil sudah bertetangga, mereka tidak terlalu dekat namu sesekali mereka bermain kelereng bersama teman-teman lainnya.

Ratih suka mendengar cerita tentang Bunda dan Ayahnya sejak mereka kecil. Biasanya sambil membantu Bunda memasak Ratih akan bertanya, dan dengan senang hati Bunda bercerita. Sedangkan jika ingin tahu masa penjajahan Ratih biasa bertanya pada neneknya, kata neneknya almarhum kakeknya saat masih kecil dulu ikut membantu memasak makanan para pejuang.

"Nenek sudah makan?" tanya Ratih.

"Sudah, Bundamu kasih nenek labu rebus. Rasanya tidak enak!" Ratih terkekeh mendengar suara neneknya yang cemberut, kata Dokter nenek Ratih harus makan makanan sehat, tidak boleh makan junk food, hindari lemak termasuk lemak santan.

"Kalau nenek sudah sembuh nanti Ratih bawakan pizza, mau?"

Nenek Ratih mengangguk cepat, matanya berbinar mendengar nama makanan kesukaannya, Ratih kembali terkekeh. Di umurnya yang sudah sekitar tujuh puluhan nenek Ratih sudah mirip seperti anak kecil.

Pernah sekali Ratih menemukan neneknya sedang nangis tersedu-sedu di dekat pintu kamar mandi, kedua tangan menutupi wajahnya yang keriput. Saat Ratih bertanya mengapa neneknya menangis, nenek Ratih menjawab bahwa Bunda Ratih tak lagi menyayangi nenek karena Bunda sudah punya Ayah Ratih. Nenek Ratih seolah-olah sedang mengadu pada Ratih seperti anak kecil mengadu pada Ibunya. Neneknya terus menangis terisak-isak, saat itu ia duduk dilantai dan menutup wajah dengan kedua tangannya.

Ketika RAtih bertanya pada Bundanya, Bunda bilang nenek makan pizza milik mbak Ani, asisten rumah tangga di rumah Ratih, yang diletakkan di atas meja dapur, Bunda Ratih sudah sering melarang nenek makan junk food itu, tapi diam-diam neneknya nyolong pizza itu.

"Yasudah nenek jangan makan junk food dulu biar cepat sembuh, kalau sudah sembuh nanti kita makan pizza di restoran trus kita nonton konser. Oke ?" Ratih menyatukan kelima jarinya, nenek Ratih mengikuti membuat Ratih terkekeh.

Ratih mengulurkan tangannya, menyalim tangan renta sang nenek, "Ratih berangkat nek!" pamitnya melangkah mendekati mobil Arilyo yang terparkir sekitar sepuluh meter dari pekarangan rumah neneknya.

"Siapa itu?" Ratih berbalik menatap neneknya yang menatap mobil Arilyo penasaran.

"Teman, dadah nenek." Ratih melambai dan kembali berbalik. Menghindari pertanyaan neneknya yang pasti akan lebih menggunung jika dijawab.

"Pa—" sapaan Ratih terhenti ketika menemukan Della duduk di samping Arilyo, gadis dengan rambut sepunggung itu sedang menggunakan lipstick dan bercermin di handphonenya. Della menoleh sebentar kepada Ratih lalu kembali lagi pada aktifitasnya.

Kaca mobil Arilyo berwarna hitam jadi Ratih tidak tahu ada Della yang duduk di depan, Della bertingkah seolah-olah Ratih tidak ada.

Arilyo menggaruk lehernya, "Dell pindah gih!" suruhnya

Della kembali melirik Ratih sebentar lalu dia menatap Arilyo tajam, "lo nggak liat gue belum selesai make up?!" ketusnya.

"Ahhh..., make up mulu lo dari tadi!" Arilyo memukul setirnya, kesal juga pada sahabatnya ini. Padahal dia sudah menunggu sekitar satu jam gadis itu make up di rumah. Lah ini katanya masih belum selesai juga. Kalau Della bilang make up paling lama hanya tiga pulung menit. Bagi Arilyo itu itu adalah waktu paling singkat, Della tuh bisa menghabiskan satu hari untuk make up.Della hanya mendengus tidak peduli, tangannya kembali melakukan rutinitas make upnya.

"Tih, lo di belakang dulu ya..., nanti kalau Della sudah selesai lo bisa tukaran." Ratih yang sedang bengong dengan mulut sedikit terbuka hanya tersenyum tipis, dia mengangguk dan masuk ke kursi belakang. Aneh sekali dirinya berharap bisa duduk di samping sang idola.

Ratih membuka buku paket sejarahnya, hari ini dia ada pelajaran sejarah. Guru Ratih akan bercerita tentang zaman orde lama, revolusi hijau reformasi dan orde baru. Hal yang selalu ditunggu-tunggu Ratih.

"TADI GUE CUMA PAKE BEDAK YO!"

"Apaan bedak seratus jam!"

"YA 'KAN—"

Ratih menyumpal telinganya dengan earphone, sengaja memutar legu dengan volume penuh. Bagi Ratih lebih baik gendang telinganya pecah karena mendengar lagu dari pada mendengar suara Della yang membuatnya dongkol setengah mati.

Ratih kembali memfokuskan diri membaca bukunya. Kadang Ratih menyesal dulu memilih jurusan IPA, baginya belajar sejarah hanya dua jam dalam seminggu sama sekali tidak berasa. Coba dulu dirinya mengambil jurusan IPS, setidaknya dia belajar sejarah bisa empat jam dalam seminggu.

Samar-samar Ratih mendengar namanya dipanggil, namun Ratih mengabaikan takut itu hanya khayalan saja.

PUKK.

Ratih meringis memegangi dahinya, dia menatap si pemukul yang juga sedang menatapnya tidak ramah. Dia juga menatap Arilyo yang fokus pada jalanan.Ratih juga melirik tangan Della yang memegang sisir, dia yakin kepalanya dipukul menggunakan sisir itu. Della mengisyaratkan menyuruh Ratih membuka earphonenya.

"Segitu sukanya elo sama Sejarah?"

Ratih mengangguk mantap,dengan tangannya yang masing setia mengusap-usap dahinya. Della mengangguk kembali menatap ke depan, melihat jalanan yang sudah terisi mobil-mobil mewah.

"Menurut gue Sejarah nggak terlalu penting!" Della melirik Ratih sejenak. "Atau bahkan tidak penting!" katanya ketus.

Ratih menutup buku paketnya, dia menatap punggung Della seksama.

"Setidaknya suka pelajaran MAtematika atau Bahasa yang jauh lebih penting. Ini sejarah, hanya cerita!"

Ingin sekali rasanya Ratih menjambak rambut Della, enak sekali mulutnya berkata sejarah tidak berguna. Ratih menunduk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca, dia ingin sekali marah. Tapi RAtih takut Arilyo ilfeel padanya, bayangkan saja Arilyo dan Della adalah alumni most wanted di sekolahnya, sedangkan dirinya hanyalah tutup kaleng jalanan. Ratih menghela napas, berusaha menurunkan emosi yang menghimpit di dadanya, bersabar. Satu kata yang sangat ditekankan Ratih pada dirinya sendiri, untuk saat ini.

*** 

harap bersabar ini ujian....:"(((.

voment dong :0)

Putri MaluWhere stories live. Discover now