Prolog: Where Feet May Fail

11K 696 15
                                    

Ruangan ini memiliki nuansa lembut yang menenangkan. Rak buku yang dipenuhi berbagai macam genre, disusun berdasarkan abjad penulisnya. Sebuah pot tanaman terletak di ujung. Harum vanilla menguar dari diffuser yang sengaja diletakkan oleh pemiliknya di beberapa tempat dalam ruangan. Ini mengingatkan akan kue yang bisa dipanggang oleh Mama bertahun-tahun silam, saat aku masih tinggal di rumah besar itu.

Alunan musik klasik, yang kemungkinan besar berasal dari Spotify, terdengar. Aku menghela napas perlahan sambil memejamkan mata, mencoba mengistirahatkan pikiran. Semenjak beberapa minggu lalu, ruangan ini menjadi tempatku untuk berlindung juga mencari tahu. Padahal aku juga tidak tahu sedang berlindung dari apa dan bagaimana. Hanya saja sebulan terakhir hidupku kacau balau. Sampai-sampai kuputuskan datang ke sini.

Suara orang bercakap-cakap di depan pintu mengalihkan perhatianku. Sepertinya itu suara Oceana, sahabatku sejak kuliah yang juga bekerja di tempat yang sama denganku saat ini. Namun, kenapa dia terdengar gusar?

Pintu mendadak terbuka, dan sesosok tubuh berlari masuk. Rambut hitam panjangnya berkibar sementara dia berlari. Matanya yang cokelat melebar saat melihatku. Sebelum kusadari, kami sudah berpelukan. Seorang perempuan langsing berjalan di belakang Oceana.

Seharusnya aku yang menangis melihat kehadiran Ocena di sini, tapi malah dia yang tersedu dengan bahu berguncang. Seumur hidup mengenal gadis bertubuh mungil itu, tidak pernah aku melihatnya begitu sedih, lemah dan rapuh.

"Kenapa nggak bilang, Cloud?" tanyanya di antara sedu sedan.

Aku hanya bisa tersenyum pahit. Kilasan masa satu bulan lalu masih jelas terasa. Sesuatu yang kemudian mendorongku untuk berada di ruangan ini. Mencoba mengurai satu persatu masalah yang ada.

"Ini semua karena dia kan?" tuduh sahabatku. Matanya berkilat dan wajahnya basah oleh air mata.

"Lo jelek kalau nangis." Bukannya menjawab, aku malah mengomentari Oceana. Sungguh, pemandangan ini lebih menggelikan daripada drama dalam hidupku. Dia mencubit sampai aku mengaduh dan tertawa.

"Mungkin ... sudah saatnya kamu cerita, Claudia. Sahabatmu sudah bicara denganku sepuluh menit terakhir dan kurasa inilah waktunya." Sakhi, perempuan yang menjadi temanku belakangan ini, bicara.

Aku bisa berkenalan dengan Sakhi lewat seorang teman lama. Sejak pertama kali bertemu, aku sudah jatuh hati pada bagaimana dia memperlakukan orang lain dengan lembut dan penuh pengertian. Aku ingat saat pertama kali datang dengan gelisah dan serba salah, Sakhi menenangkanku dan sejak hari itu kami berteman.

Sambil menghela napas berat, aku kembali duduk di sofa empuk diikuti oleh Oceana. Meskipun pandang mata sahabatku terlihat sangat penasaran, tapi aku menghargai mulutnya yang masih menahan diri untuk bertanya.

Maka, mulailah aku bercerita. Tentang masa lalu seorang Claudia Loveli Maharani, yang tidak pernah terungkap. Kehidupan bagaikan drama yang pada akhirnya mengantarkanku pada Sakhi dan ruangan bernuansa cokelat ini.

Mata Oceana terus melebar dan melebar sementara cerita mengalir dari mulutku dengan tidak runut akibat emosi. Tapi tidak satu kalipun dia menyela atau bertanya. Hanya tangannya yang terus menggenggamku semakin erat. Kabut menyelimuti lagi matanya yang baru kering.

Mungkin, sama seperti orang lain, tidak ada yang menyangka kehidupanku di masa lalu akan seperti itu. Orang-orang sekarang hanya mengenalku sebagai lulusan sastra Indonesia yang kini bekerja menjadi seorang penulis digital content yang senang sekali tertawa dan seringkali ditertawakan karena suka latah. Aku tidak pernah peduli ditertawakan, toh tertawa itu gratis. Namun, di suatu malam satu kejadian mengubah itu semua. Kejadian yang membuatku mencari tahu lalu membuka pintu-pintu yang sudah lama tertutup rapat dalam sudut memori terdalam. Menguak penderitaan yang tidak pernah kusadari menggerogoti diri.

Setelah kata terakhir terucap, Oceana memelukku erat. Kubalas pelukan tulusnya dengan sepenuh hati. Mungkin, kali ini aku akan benar-benar keluar dari penderitaan. Tunas harapan itu membesar. Diam-diam aku berdoa semoga saja kali ini semuanya tidak kacau lagi.

My Cloudiest Sky (Completed)Where stories live. Discover now