43. Saved

3.1K 435 14
                                    

Ketika membuka mata kembali, rahangku terasa kaku. Hidungku juga sakit dan perih. Terdengar suara secara berkala dari mesin monitor di samping ranjang. Alat saturasi pernafasan yang dipasang di hidungku terasa mengganggu. Seorang perawat sedang mengecek infus.

"Ah, Anda sudah tersadar. Saya akan panggilkan dokter sebentar, ya?" Tanpa menunggu jawaban, perawat itu langsung keluar dari kamar perawatan.

Dokter yang datang memeriksaku tersenyum, "Kondisi Anda mulai stabil. Kita akan lihat dalam beberapa hari sebelum dipindahkan ke kamar rawat ya."

"D-dok, mana orang yang membawaku ke sini?" Dokter itu hanya tersenyum lalu keluar dari ruangan.

Gana memasuki ruangan dengan raut wajah suram dan berantakan. Rambutnya bahkan mencuat-cuat tidak keruan sementara kemejanya kusut. Sepertinya dia sudah lama tidak tersentuh air untuk mandi. Dia berjalan dengan kaku seperti robot dan mengambil sebuah kursi lalu duduk di samping kanan ranjangku.

"Maafkan saya, Cloud. Bahkan untuk menjagamu saja saya gagal." Dia begitu sedih dan tampak terluka. Aku mencoba menggelengkan kepala lalu menyerah ketika rasa sakit menyerang.

"Sakit?"

"Nggak! Ya iyalah sakit banget!" ujarku sewot dengan suara aneh seperti berdeguk karena bengkak mengerikan ini.

"Oh, ini berarti kamu uda mendingan." Laki-laki jangkung itu tertawa pelan.

"Sakhi dimana? Aku perlu Sakhi. Tadi ... tadi ...." Tiba-tiba saja ingatan itu datang. Badanku gemetaran tidak terkendali.

"Ya, Tuhan! Claudia!" Gana nyaris melompat untuk memelukku saat alat-alat yang menempel di tubuhku menghalangi. Maka dia hanya menggenggam sebelah tanganku yang bebas dari selang infus. Setelah beberapa menit, rasa takut itu mereda.

"Gan ... tadi ... tadi ada Sky." Sekarang giliran laki-laki di sampingku ini duduk dengan tegang. Pasti ada yang dia sembunyikan. Aku baru akan bertanya, ketika dia bicara, "Nanti. Setelah kamu pindah ke kamar rawat dan beristirahat, saya akan cerita. Semuanya." Gana menepuk tanganku pelan.

"Tapi ...."

"Tenang, Cloud. Kamu aman di sini." Dia tersenyum dan wajahnya yang berantakan menjadi lebih hidup.

"Aku masih tetap percaya kamu ini bisa membaca pikiran," gumamku pelan. Kutekan rasa takut yang bisa saja menyerang tanpa aba-aba.

"Kamu juga sebaiknya mandi. Mukamu berantakan, Gan," kataku lagi

"How dare you? Ini muka karena khawatir, tau? Gosh, napas saya nyaris berhenti dua kali waktu Sky nelepon dan saat kamu baru sampai di rumah sakit tadi terus kondisimu menurun." Wajah itu terlihat sangat menderita sampai aku tidak tega.

Gana terdiam lama. "Aku akan menunggu sampai kamu beristirahat."

"Sakhi di mana?" tanyaku lagi. Kali ini laki-laki itu berdecak kesal.

"Bisa nggak ngobrolnya nanti-nanti aja? Kamu harus banyak istirahat." Aku mencoba meringis tapi gagal.

"Lukanya dijahit ya, Gan?" Sekali lagi Gana mendesah kesal karena aku tidak mau langsung beristirahat.

"Iya luka di bibir kamu terpaksa dijahit karena robeknya dalam. Sekarang, tidur!" Aku langsung memejamkan mata karena kaget. Gana mengerikan kalau dia jadi seperti Gana yang di kantor. Sekarang aku merasakan bagaimana perasaan Dion yang sering dimarahi di kantor. Kenapa pula tiba-tiba aku jadi mikirin Dion?

Kuintip Gana yang masih duduk di kursi samping ranjangku dan sedang menopangkan wajahnya. Telapak tangan yang besar menutupi wajah tampannya.

"Gana ...," bisikku.

"Jangan merasa bersalah. Cepat atau lambat kakak pasti menemukanku. Maaf aku membuat rumahmu berantakan," kataku dengan pelan. Gana mengangkat wajahnya dengan pandangan yang sulit kuartikan. Akhir-akhir ini aku seringkali melihat pandangan itu.

"Sebaiknya kamu tidur." Hanya ucapan itu saja yang keluar dari bibirnya. Kemudian dia tersenyum lalu meraih sebelah tanganku yang bebas dari selang infus dan mengelusnya perlahan. Elusan itu menenangkan, seperti saat Ibu mencoba membuatku tertidur saat kecil dulu.

"Aku bermimpi tentang Ibu."

"Oh ... Claudia. Kamu bandel banget ya. Disuruh tidur malah ngomong terus." Aku tertawa. Rasanya sudah ribuan tahun aku tidak tertawa dan kali ini tawa itu keluar setelah dimarahi. Tawa itu seperti hujan yang membasahi kemarau. Menghalau debu dan terik dengan kesejukannya.

"Gan, tadi ada Sky ...." Sekali lagi aku mencoba. Laki-laki jangkung yang terlihat kusut itu mendesah. Dia menggenggam jemariku yang bebas dari selang infus.

"Dia selalu ada, Cloud. Nggak pernah jauh dari kamu sampai saya sebal. Kalau itu udah bikin kamu tenang, sekarang tidur, ya?" Tangan besarnya mengusap rambutku. Perlahan namun pasti, kantuk menyergap. Mungkin Gana punya kekuatan magis di tangannya yang bisa bikin orang mengantuk.

*

Kayanya enak ya diusap-usap rambutnya sama Gana kalau lagi insomnia. 😆😆😆😆💓💓

Jangan lupa voment untuk jutaan awan di langit ya. ☁️☁️☁️☁️☁️🌧🌧🌧🌧🌧

Love
Ayas

My Cloudiest Sky (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang