JSD •|• 05

72K 4.5K 38
                                    

"LO yakin semua ini akan berhasil?" tanya Nayla sembari mematut penampilannya di cermin besar yang ada di kamar.

Damian mengajaknya kencan, harusnya sudah biasa, tapi begitu ingat kali ini mereka kencan yang sebenarnya, tidak seperti yang sebelum-sebelumnya, perut Nayla mendadak terasa mual.

"Dicoba aja dulu, Nay. By the way, tumben amat lo lama banget di dalam, lagi ngapain?"

"Penasaran?"

Nayla mendengkus. Setelah memastikan penampilannya rapi, dia pun keluar menemui Damian yang kabarnya telah menanti di luar pagar rumah. Padahal, Nayla sudah menyuruh pria itu masuk ke dalam, tapi nyatanya, Damian tetap diam saja di luar pagar hanya untuk menunggu kedatangannya.

"Enggak, karena bentar lagi lo pasti ke sini. Benar, kan, dugaan gue?"

Nayla bisa melihat Damian tersenyum manis saat mata mereka beradu. Nayla segera menghampiri sahabatnya yang berdiri di samping motor gede yang biasa menjadi trademark seorang Damian Alexander.

Pria itu terlihat tampan seperti biasa dengan setelan casual-nya; kaus v-neck berwarna biru yang ditutupi jaket hitam, dipadukan celana jin hitam panjang, dan sepatu ADIDAS hitam keluaran terbaru. Damian memang termasuk pria yang sangat suka mempertahankan trademark-nya. Nayla bahkan berani bersumpah, pria itu tidak memiliki satu pun pakaian formal selain baju koki yang biasa dia pakai bekerja.

"Langsung jalan?" tanya Damian, sambil menaik-turunkan sebelah alisnya menggoda. "Udah laporan sama Tuan Ratu?"

Nayla terkekeh sambil memukul pelan bahu pria yang beberapa tahun ini menjadi sahabat karibnya. "Apaan, sih? Emangnya gue diwajibin lapor 24 jam gitu? Berasa kayak anak perawan aja."

"Emang udah nggak perawan?" tanya Damn, setengah bercanda, tapi serius.

Nayla mendelik ke arahnya. "Kenapa? Masalah kalau gue udah nggak virgin lagi?"

"Nggak." Damian memejamkan mata sembari mengalihkan pandangannya dari Nayla. Ia tahu Nayla masih perawan, tapi kenapa wanita itu tidak mau mengakuinya?

Darimana Damian tahu Nayla masih perawan? Tentu saja, dia selalu mengawasi wanita itu hampir setiap hari. Mereka selalu bertemu sepanjang waktu, lalu bagaimana dia bisa sampai kecolongan?

"Damn, lo ngambek, ya?"

"Enggak, ayo jalan!"

Damian mulai menaiki motornya dan mempersilakan Nayla untuk mengikuti jejaknya. Bibirnya sudah menyunggingkan senyum, tapi Nayla tetap tak membalas senyuman itu.

"Gue nggak marah, kalau lo udah nggak perawan juga nggak masalah." Damian nyengir nggak jelas. "Apalagi kalau lo mau berbagi kehangatan sama gue—"

Nayla mendekap mulut Damian dari belakang. "Lanjutin omongan lo, kalau lo mau gue bunuh di sini!"

Nih anak mulutnya kok makin ke sini, makin parah aja, sih?

"Kalau dicium gue setuju." Damian menjauhkan tangan Nayla dari mulutnya. "Kita berangkat sekarang, ada request mau ke mana?"

"Ke mana aja yang penting asik."

Hari itu mereka pergi ke mana-mana. Mulai dari pusat perbelanjaan, kafe, taman, kemudian mereka berencana pergi ke bioskop untuk menonton film.

Nayla merasa semua ini takkan berjalan sesuai rencana mereka sebelumnya. Di dalam hatinya, dia mulai ketakutan.

Apakah setelah ini, hubungan mereka akan merenggang?

Terlebih, jika keduanya tidak melangkah ke tahap yang lebih serius lagi?

Jujur saja, Nayla nyaman bersama Damian. Hanya saja, perasaan nyaman itu terlalu biasa. Tiada rasa berbunga-bunga, jantung yang memompa tak keruan, dan lain sebagainya. Semuanya berjalan biasa saja dan Nayla takut ... rasa nyaman yang kini ia rasakan hanya sekadar rasa nyaman antara dua orang teman.

"Kenapa, Nay?" tanya Damian setelah mereka sampai di bioskop.

Nayla tak menjawab, ia memasang senyum miris yang entah mengapa membuat hati Damian teriris. "Semua ini nggak akan berhasil, Damn."

"Maksud lo?"

"Gue nyaman sama lo, seperti biasa, tapi itu bukan kenyamanan yang gue cari. Lo emang sahabat terbaik gue, tapi buat lebih dari itu ...." Nayla menghela napas panjang. "Maaf, gue nggak bisa. Gue nggak siap kalau suatu hari nanti gue nyakitin lo dan bikin hubungan pertemanan kita hancur. Gue nggak mau kehilangan elo, Damn, elo sahabat terbaik gue."

Nayla mengecup pipi Damian singkat, sebelum menggumamkan kata, "Maaf!"

Hanya maaf ... hanya itu yang bisa dia berikan pada sahabatnya.

Nayla tidak bisa memberinya kepastian akan hubungan asmara mereka, karena ... mereka tidak akan bisa. Tidak, karena mereka takkan mau mengorbankan kenyamanan di antara dua orang teman yang telah mereka lewati bertahun-tahun silam.

Nayla pergi meninggalkan Damian, sedang pria itu tertawa hambar. "Gue juga nggak mau jauh-jauh dari lo, Nay. Cukup jadi teman yang selalu ada di sisi lo, semuanya udah lebih dari cukup buat gue. I love you!"

I love you ... tiga kata yang takkan pernah terutarakan, karena sebuah pertemanan lebih penting daripada sebuah kisah percintaan.

___

Maaf kalau feelnya kurang. ....

Jodohku Seorang DudaWhere stories live. Discover now