Really

82 9 11
                                    

  “ Jangan habiskan waktumu untuk menunggu dia yang tidak memberikan kepastian padamu. Cinta bukan sekedar rasa, cinta juga butuh keyakinan dan kepastian.”


°

   "Odigaesso?"

"Cafe Nesca," jawabku pada seseorang yang sedang berbicara padaku di telpon. Taeyong.

"Alamatnya?"

"Dekat dengan Universitas Pusan National."

Sudah seminggu aku di Busan. Taeyong, Taeil oppa, Sehya, dan juga Jeno, mereka yang selalu menemani dan mengingatkanku untuk makan dengan teratur, istirahat, dan masih banyak lagi.

"Arraeso," katanya lagi.

"Whe?"

Telpon mati. Taeyong mematikan sambungan telpon tanpa menjawab pertanyaanku. Dasar!

Aku meminum minuman favorit ku, coffe. Yup, aku adalah yeoja pecandu kopi. Semua jenis kopi sudah ku coba, dan itu semua menjadi favorit ku. Disini, aku sedang belajar beberapa materi untuk persiapan besok, dan Jeno sudah pulang duluan, karena ia merasa badannya kurang sehat. Mengingat beberapa hari kemarin, kita disibukkan dengan presentasi, adu ketangkasan, dan besok kami akan mengerjakan 150 soal yang akan menjadi penambahan nilai kami.

Aku duduk tegak dengan membaca satu persatu halaman yang ku buka. Handphone ku berdering. Taeyong. Dia meneleponku lagi.

"Ya'!, Singkirkan buku-buku itu dari hadapannmu!" Ucapnya tanpa memberi salam.

Aku mengernyitkan kening. Bagaimana ia bisa tahu, kalau aku sekarang sedang repot dengan buku-buku dihadapanku?

"Dari mana kau tahu?" Tanyaku ingin tahu.

"Aku selalu tau tentangmu." Jawabnya. Suaranya terdengar sangat dekat padaku. Bukan suara dari balik telpon, melainkan suara nyata, seperti dia sedang bersamaku.

"Letta..."

Aku melihat kanan dan kiri, kemudian menoleh kebelakang. Seketika aku terkejut, aku membelalakkan mata. Taeyong!

Aku memeluknya. Sudah lama ia selalu ada untukku, selalu menghiburku, dan juga selalu menggangguku. Dia sudah kuanggap seperti kakak sendiri. Sempat aku memanggilnya dengan panggilan oppa, tapi ia menolak. Dia menyuruhku untuk memanggil namanya saja.

Aku melepaskan pelukanku.

"Kau datang secara tiba-tiba, sudah seperti hantu saja kau ini." Kataku dengan tertawa.

Aku menyuruh ia duduk dihadapanku, "kapan kau datang?"

"Siang tadi. Aku kesini hanya untuk melihat yeoja yang biasanya selalu cemberut, apakah hari ini tersenyum atau tidak." Jawabnya.

"Yoeja itu sekarang duduk di depanmu dan tak ada sedikitpun gerutan cemberut di wajahnya," ujarku memukul pelan lengannya.

Dia tersenyum, kemudian melihat jendela kaca caffe ini. "Bulan sedang bersinar terang malam ini." Ucapnya.

"Bulan akan selalu tetap bersinar. Walaupun ia telah kehilangan satu bintangnya."

"Dunia tidak akan kiamat jika harus kehilangan satu bintang." Jawabnya.

"Tapi malam tak akan indah jika bintang itu masih hilang."

"Baiklah..baiklah, aku mengalah." Katanya menyerah.

"Akui saja kau memang kalah kali ini," kataku dengan tertawa.

"Kau lebih bawel daripada yang ku dengar di telpon."

[1]THE MOON // 𝐂𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞𝐝✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora