5 - Cinta Gadis Biasa

577 33 0
                                    

Revisi, Februari 2020

*****
 
Menjadi salah satu manusia dengan kategori anak rantauan sudah nadia rasakan selama sebulan ini, rumor Jakarta itu kejam tak terbukti sama sekali. Ketakukan, kerisauan selama ini perlahan mulai memudar. Nadia mulai terbiasa bangun saat subuh hanya dengan alarm dari ponselnya. Tak ada suara kokok ayam pak rt seperti saat dulu di Pandeglang, atau suara cerewet Mba indri seperti saat dirinya di Bandung. Ah tak terasa, waktu berlalu dengan begitu cepat. Sebulan ini pula nadia mulai terbiasa dengan perbedaan-perbadaan yg menonjol. Mulai terbiasa dengan macet, mulai terbiasa berteman akrab dengan polusi dan juga mulai terbiasa dengan sikap menyebalkan dosen ganteng itu. Aih--bicara soal dosen ganteng sudah sebulan pula nadia mulai sedikit mengenal sosok delvin, delvin yg kadang kaku, kadang jutek tapi terkadang pula bersikap manis. Mahluk tuhan yg satu itu, sepertinya memang punya kepribadian ganda.

Dosen killer yg cukup disegani Searea kampus itu, nampaknya dosen favorite. Meskipun terkenal dengan sikap arrogannya, tapi delvin juga salah satu idola kaum hawa. Bahkan katanya, banyak mahasiswi yg dengan rela menyerahkan tubuhnya kepada delvin. Sebuah kebanggaan bagi kaum hawa yg bisa bermalam dengan delvin, walau setelah itu delvin tak lagi peduli dengan nasib wanita itu. Habis manis sepah dibuang.

Meskipun begitu, tak ayal banyak mahasiswi kalangan atas yg dengan rela merendahkan harga diri mereka hanya sekedar ngedate atau launch. Tapi itu semua tak berlaku bagi nadia, bahkan sekarang nadia lebih menjaga jarak dengan Delvin. Siapa sangka si tampan yg jutek itu menyimpan seribu misteri, nadia tak tau apa motif delvin mendekati dirinya. Gadis kampung yg tak tau apa-apa, Fani bilang nadia harus berhati-hati mulai dari sekarang. Tentu saja, Nadia tak mau tujuannya datang ke ibukota harus sirna karena manusia macam delvin.

"Abis ini lo ada kelas pak delvin kan?" . Tanya Fani saat mereka baru saja duduk dibangku kantin, Nadia mengangguk sebagai jawaban.

Fani menghela napas lelah sebelum ia berbicara lagi. "Inget ya nad inget pesen gue, gue gak mau lo jadi target selanjutnya"

Nadia tersenyum menanggapi, sikap fani yg seperti ini sudah seperti mba indri. Bawel dan terlalu khawatir, tapi nadia bersyukur setidaknya masih ada orang yg peduli padanya meskipun ia jauh dari keluarga.

"Lo mau pesen apa?" Fani kembali bertanya

"Bakso yg biasa aja deh Fan, minumnya air mineral"

Fani mengangguk, kemudian beranjak untuk memesan makanan mereka. Sementara nadia membuka benda pintar yg semalaman tak ia hiraukan karena sibuk dengan tugas-tugas dari dosen jutek itu.

4 panggilan tidak terjawab, kemarin pukul 22:30- Es milo🍨

2 panggilan tidak terjawab, hari ini pukul 07:00- kak Randy

25 pesan- Es milo🍨

Nadia menghembuskan napasnya kesal, dosen jutek itu masih saja mengganggu dirinya. Tanpa berniat apalagi membalas pesan dari delvin, nadia lebih baik mengirim pesan kepada Randy. Terlalu sibuk dengan ponselnya hingga tak sadar ada seseorang yg sedari tadi berdiri disamping nya dengan wajah datar. Delvin memperhatikan nadia yg nampak acuh, sampai ia kesal diacuhkan seperti itu.

"Ehem".. deheman delvin berhasil mengalihkan atensi nadia, nadia tersentak kaget manusia yg baru saja ia hindari kini berdiri menjulang disampingnya. Ibarat pacar yg ketahuan selingkuh, dengan gugup nadia memasukan handephone nya kedalam tas. Tanpa permisi delvin duduk didepan nadia, wajah gugup bercampur malu tersuguhkan dihadapan delvin, ah--delvin suka ekspresi nadia yg seperti itu.

"Es milo, heh?" Katanya sarkastis, dan itu semakin membuat nadia gelagapan bukan main. Bak maling tertangkap basah nadia mati kutu. Nadia semakin menundukan kepalanya, entah kenapa tekad yg selalu ia agungkan didepan Fani untuk menjauhi delvin, seketika menciut kala ia berhadapan langsung dengan delvin.

"Gak sopan, ditanya malah nunduk seperti itu" . Ucapnya lagi, Nadia belum juga berani mengangkat kepalanya. Sungguh, nadia ingin menghilang saja saat ini juga.

"Pak delvin ngapain disini?" . Suara ketus itu milik Fani, tak hanya suaranya saja yg terdengar ketus tatapannya pun tak kalah tajam dari delvin. Bahkan secara terang-terangan Fani menunjukan gelagat tak sukanya pada delvin. Terserah jika dosen arrogan nya ini akan menurunkan nilai Fani, atau memberi merah sekalipun. Fani tak peduli.

"Bukan urusan situ" balas delvin tak kalah ketus, nadia mendongak dan lagi lagi netra cokelat terang itu bertemu dengan iris biru yg selama ini ia hindari.

"Pulang ngampus saya tunggu dihalte seperti biasa". katanya sebelum benar-benar berlalu dari hadapan Nadia dan Fani.

*****

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, siang ini Nadia harus bertemu dengan Delvin dihalte yg sama. Saksi bisu insiden pelukan sebulan yg lalu, halte yg sama yg membuat nadia berakhir dengan perjumpaan panjang dengan delvin.

Lexus silver mewah yg sudah nadia hapal betul siapa pemiliknya. Berhenti tepat didepan nadia. Si tuan arrogan menurunkan kaca mobilnya, mengisyaratkan nadia agar masuk kedalam mobil. Dengan langkah ragu nadia pun menurut. Nadia berharap ini pertemuan terakhirnya dengan delvin, tidak lagi pertemuan selanjutnya.

Seperti biasa susana dalam mobil selalu hening, sampai mobil berhenti didepan rumah mewah nan megah. Gerbang yg tadinya tertutup perlahan terbuka dengan sendirinya. Nadia dibuat takjub bukan main, ini seperti istina baginya. Rumah berlantai dua dengan perpaduan warna silver dan putih. Terkesan elegan dan mewah.

"Ayo turun". Suara delvin membuyarkan lamunannya, tidak seperti pria pada drama picisan si laki-laki akan membuka-kan pintu mobil si wanita. Delvin sudah lebih dulu berjalan angkuh, nadia hanya mengikuti dari belakang. Keduanya disambut ramah oleh wanita setengah baya.

"Siang tuan, nyonya" . Katanya sopan bahkan sampai sedikit membungkuk. Nadia yang tidak biasa diperlakukan seperti itu merasa risih terlebih wanita dihadapanya ini lebih tua darinya.

"Aduh ibu, tidak usah begitu. Panggil aja saya nadia". Ucap nadia tak kalah sopan, sembari mencium tangan wanita dihadapnya itu.

Wanita itu terkesiap dengan perlakuan nadia, tamu tuanya ini sangan manis dan sopan. Siapakah gerangan wanita cantik dihadapanya ini.

"Saya bi rum non, saya manggilnya non nadia aja ya. Saya segan kalo harus manggil nadia saja. Non nadia teh kan tamu nya tuan delvin" .

"Aduh bi, jangan ah. Saya kan bukan siapa-siapa nya pak delvin"

Delvin yg sedari tadi memperhatikan interaksi nadia terhadao bi rum hanya mengulum senyum. Benar-benar berbeda, pikirnya.

"Kalian mau tetap disitu". Meskipun sudah dibuat senyam senyum oleh nadia, tetap saja nada ketus itu selalu mengiringi setiap kalimat yg delvin lontarkan. Delvin sangat suka sikap merajuk ala nadia. Bibir mengerucut membuat pipi chubby nya menggembung lucu.

Keduanya tersentak kaget, bi rum menggandeng nadia masuk kedalam rumah megah itu. Hal pertama yg nadia lihat adalah nuansa silver yg mendominasi ruangan seluas ini. Furniture, sofa, lukisan bahkan vas bunga pun berwarna silver. Apa tidak ada warna lain selain abu-abu? Pikir nadia.

"Neng nadia duduk aja dulu yah, bibi buatkan minum dulu"

"Eh gak usah bi, saya gak lama ko". Tolak nadia halus, tak enak rasanya jika harus merepotkan bi rum. Lagipula nadia tidak tau ini rumah siapa.

"Siapa bilang gak lama" delvin yg tengah sibuk dengan ponselnya pun ikut nimbrung.

"Lah terus? Saya ngapain lama-lama disini?"

"Masak" katanya santai.

"HAH?"


__________________________

To Be Continue....

Versi revisi.

Cinta Gadis Biasa [On Going]Where stories live. Discover now