"Bim—""Kenapa?"
Banyu menoleh pada Adinda yang tiba-tiba beringsut ke belakang pemuda itu sambil mengeratkan kait lengannya, memandang ke satu arah di mana seorang pemuda membentak teman gadisnya.
"Sumpah, itu cowok napa sih pake bentak-bentak di tempat umum kayak gini??" gerutu Adinda dengan tatapan bersimpati memandang pada gadis yang saat itu berdiri tidak jauh dari mereka.
"Udah, biarin aja, kita nggak tau juga urusan mereka apa," jawab Banyu sambil pelan menariknya pergi.
"Iya emang kita nggak tau, Bim. Tapi ya maksudnya itu cowok bisa kali nggak usah bentak-bentak kayak gitu. Kesel lihatnya," jawab Adinda, mengatupkan bibir dengan kening mengerut tanda ketidaksetujuan.
"Iya juga, sih."
"Heran sama orang yang suka bentak-bentak gitu apa faedahnya coba??"
"Haha," Banyu mencubit hidungnya cepat, "Ngerti deh, yang keselnya nggak ilang gara-gara dibentak-bentak sama OSIS waktu MOS."
"Nggak bakal gue maafin sih kalo itu."
"Haha, ntar pas ospek biasanya lebih parah, lho."
"Iya, gue tau."
Banyu mengulum senyum, mengerling pada Adinda sesaat, lalu akhirnya menyentuh puncak kepalanya.
"Please be tough this time. Karena kalo lo sampai nangis, gue nggak ada di sana nemenin lo."
Adinda bukan gadis yang cengeng. Sama sekali bukan. Tapi untuk alasan-alasan tertentu, dia tetap akan menangis begitu saja.
Banyu ingat, ketika MOS di SMA, Adinda dibentak-bentak oleh salah satu OSIS panitia hanya karena dia salah mengikat rambut. Adinda meminta maaf beberapa kali, dan duduk di lapangan, dia membetulkan ikat rambut yang seharusnya dikepang.
Dia terlihat tidak apa-apa. Sampai waktu istirahat, Banyu berkesempatan menghampirinya dan bertanya, "Dinda, lo nggak papa tadi dimarahin OSIS?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Biru
Fanfiction" I wish you could hear all words I'm too afraid to say. " -Unknown Banyu, memiliki alasannya sendiri mengapa dia memilih untuk tidak mengungkapkan perasaannya secara pasti kepada Adinda, gadis yang telah 13 tahun ini berteman dengannya. Bahkan jara...