"Nah, ini tinggal ... coba hitung; satu, dua, tiga ..." Adinda menghitung sisa kepingan puzzle yang belum terangkai, berkata pada Jani, "dua puluh satu. Masih banyak ternyata.""Masih banyak ya, Kak, hmm ...."
"Jani capek nggak?"
Anjani tersenyum membenarkan. "Dikit."
"Mau selesain ini nggak? Apa ... mau nonton film dulu? Apa ... mau makan es krim dulu?"
"Selesein gambarnya aja dulu, Kak."
"Boleh," Adinda mengangguk cepat, memandang pada Jani yang menatapnya dekat. "Kenapa?"
Terdiam sesaat, Anjani tiba-tiba saja menyentuh pipinya dan berkata, "Kak Dinda pipinya halus banget. Jani suka."
"Iya?"
"Iya."
Tertawa sekilas, Adinda lalu mengetuk pipinya sendiri dengan telunjuk, "Mau cium Kak Dinda, sini."
Tanpa ragu-ragu, Anjani pun mencium pipinya dan Adinda tertawa pelan seraya merangkulnya gemas. Seperti belum lama Adinda memeluknya dalam selimut bayi, sekarang Anjani sudah hampir berusia 6 tahun.
Adinda ingat, dulu dia sempat merasa iri pada Banyu dan bertanya pada mamanya, setengah bergurau, "Ma, adeknya Banyu lucu ya. Dinda nggak bisa ya, punya adek juga?"
Dan kala itu mamanya tertawa. "Kan Dinda udah punya Kak Nanda, Banyu enggak. Makanya dia sekarang punya adek."
Benar juga. Mereka berada di kelas 8 ketika Anjani lahir dan Adinda ingin melihatnya hampir setiap hari. Tapi meski dia cukup iri karena itu bukan adiknya, kenyataannya Jani pun dekat dengannya.
"Kak Dinda jangan pulang ke Bandung ya. Di sini aja biar Jani gampang nyariinnya," Jani berkata dengan lengan melingkari pinggang Adinda.
"Kan Kak Dinda harus sekolah," jawabnya sambil mengelus rambut Anjani.
"Kenapa Kak Dinda sekolahnya nggak bareng Mas aja kayak dulu?"
Adinda mengerling pada Banyu yang tampak mengulum senyum sambil mengarahkan kamera ponselnya pada mereka. Pemuda itu segera mengisyaratkan untuk diam saat Adinda berpikir untuk menegur, kemudian dari tempatnya dia menyahut, "Kan Kak Dinda sama Mas cita-citanya nggak sama, jadi sekolahnya juga nggak sama lagi."
"Kalo Jani, cita-citanya pengen jadi apa nanti?" Adinda bertanya, kembali menunduk memandang pada Jani yang bersandar di dadanya.
"Em ... jadi apa ya, Kak?" sahut Jani setelah bergumam panjang.
"Kemarin bilang ke Mama pengen jadi penyanyi?"
Jani tertawa lirih.
"Wah, beneran? Coba nyanyi buat Kak Dinda, Kak Dinda pengen denger."
"Nggak mau," tolak Jani.
"Kok nggak mau? Ayo dong, Kak Dinda pengen denger Jani nyanyi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Biru
Fanfiction" I wish you could hear all words I'm too afraid to say. " -Unknown Banyu, memiliki alasannya sendiri mengapa dia memilih untuk tidak mengungkapkan perasaannya secara pasti kepada Adinda, gadis yang telah 13 tahun ini berteman dengannya. Bahkan jara...