"Banyu!"Suara itu menyentaknya dari lelap sesaat, dan memandang putih langit-langit kamar, Banyu lalu menghela napas dalam. Meraba dadanya yang masih tersisa debar keras, dia pun beringsut bangun dan duduk di tepi ranjang.
Pandangannya lalu mengarah pada ponsel di atas nakas, sekejap mengurungkan niat untuk memeriksa sederet pemberitahuan dalam benda mungil itu. Karena pasti tidak akan ada pesan dari Adinda. Dan karena pagi ini, sama seperti pagi-pagi sebelumnya, tidak akan ada lagi sapaan atau obrolan di sela kesibukan bersiap ke kampus dengan teman kecilnya itu.
Rasanya kosong. Dan mengerling pada kalender di atas meja belajar, Banyu berdecih pelan. Ternyata baru dua minggu saja dia terbangun di pagi hari dengan perasaan yang kacau. Dan entah akan berapa lama dia seperti itu.
Banyu merindukannya. Sejak terakhir gadis itu mengunggah foto bekal dari Brian, dia tidak lagi terlihat memamerkan aktivitas apa pun di akun Instagram-nya. Tidak Adinda, ataupun Brian. Apa dia baik-baik saja? Apa mereka baik-baik saja? Semoga tidak. Setan dalam dirinya mengutuk.
Kakinya memasang sandal sembari bangkit berdiri, serampangan melangkah menuju kamar mandi.
"Hahaha ... bangun, Bim! Napa ditutupin sih? Bau jigong ya?!"
Suara itu terdengar senyata angannya. Banyu tersenyum getir mengingat wajah tidur Adinda, yang tampak sedikit kusut saat dia terbangun tapi senyum yang spontan terulas ketika tatapan mereka bertemu selalu mengirimkan gejolak hangat dalam perutnya. Terlebih suara beratnya yang menyapa setelah lelap singkat di tengah penat belajar ... Banyu merindukannya. Sangat.
"Tsk!"
Apa gadis itu sedikit saja tidak rindu padanya? Banyu menerka sementara sibuk menyikat gigi di depan cermin. Kira-kira apa yang sedang dilakukan Adinda sekarang? Apa sedang sarapan? Atau malah sedang menunggu Brian untuk pergi entah ke mana?
Paginya selalu terasa ganjil dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Dan berlama-lama di kamar mandi justru membuatnya semakin malas mengawali hari. Dia ingin pergi. Dia akan pergi bersama Mario pagi ini untuk menemaninya bermain golf.
Menarik baju dari dalam lemari, Banyu pun berganti dengan cepat dan menyisir rambutnya rapi. Dia beralih ke lemari tempat menyimpan sepatu, membuka pintunya lebih lebar. Biasanya dia hanya menyambar mana yang terlihat saat dia menggeser sedikit pintunya: Converse hitam putih—sepatu wajib sejak dia anak-anak—atau Adidas Campus 80's abu-abu gelap yang selalu dipakai sejak setahun terakhir ini. Jarang sekali dia memakai sepatu yang lain, tapi pagi itu dia membuka lemarinya dan memandang deretan sepatu berbagai warna di dalam sana.
Ah, dia sedikit menyesal sekarang. Pandangannya berhenti pada tiga pasang sepatu di deretan tengah. Tiga pasang sepatu yang juga sama persis dimiliki oleh Adinda. Dr. Martens hitam yang dipakai semasa sekolah, Vans Checkerboard Oldskool yang dibeli bersama dengan Adinda pada Valentine tahun sebelumnya, juga Nike Air Force hitam—hadiah kenaikan kelas dari sang mama untuk dirinya dan Adinda—yang menerima sepatu serupa tapi berwarna putih. Dan itu hanya sebagian kecil saja dari banyak hal lain miliknya yang akan mengingatkan Banyu pada gadis itu.
"Tsk!" Dia meraih kanvas hijau yang lama dia abaikan dan menutup pintu lemari sepatunya agak terlalu keras. Nyaris membantingnya.
Disambarnya tasnya yang dia isi dengan dompet, power bank, hand sanitizer, lalu beranjak mencabut ponsel yang sedang mengisi daya—sudah 80% terisi—seraya melangkah meninggalkan kamar. Dia membalik ponsel di tangan dan mendengus pelan. Bahkan phone case yang dia gunakan saat ini berhias lukisan tangan Adinda, alasan kenapa dia menolak untuk berganti ponsel baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Biru
Fanfiction" I wish you could hear all words I'm too afraid to say. " -Unknown Banyu, memiliki alasannya sendiri mengapa dia memilih untuk tidak mengungkapkan perasaannya secara pasti kepada Adinda, gadis yang telah 13 tahun ini berteman dengannya. Bahkan jara...