Epilog

6K 320 65
                                    

Aroma tanah yang khas menguar, mengganggu indra penciuman Arza

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aroma tanah yang khas menguar, mengganggu indra penciuman Arza. Ia lantas menunduk, menatap sepatu hitamnya yang kini menjejaki tanah merah. Kedua matanya tampak memerah. Diikuti oleh genangan yang memenuhi permukaan bola pekat itu.

Langkah Arza berhenti, tepat di depan makam yang kini mulai ditumbuhi rerumputan itu. Senyumnya sendu, menyiratkan sejuta rasa sakit yang tidak pernah bisa ia ungkapkan. Perlahan, ia meluruh, mencacah tanah merah yang mengering.

Nama Aksara Ghifari tertulis di nisan, membuat Arza lagi-lagi merasa sakit. Ia mengusap permukaannya perlahan, seolah sedang mengusap surai sang adik. Untuk kesekian kalinya, hati Arza hancur berkeping-keping.

"Adek," lirih Arza. Ia berusaha menahan likuid bening yang secara semena-mena mengalir dari pelupuk manik legamnya. Embusan udara yang membawa serta kenangan tak lagi dihiraukannya. Rasa rindu menguar, membuat Arza mencengkeram dadanya dengan kuat.

"Apa kabar lo di sana, Dek?" tanya Arza. Tidak ada jawaban. Orang yang diajaknya bicara sudah pergi hampir dua tahun yang lalu itu. "Bahagia? Iya 'kan?"

Perlahan, Arza memejamkan kedua kelopaknya. Merasakan embusan angin yang makin kencang. Aroma khas bunga kamboja terhirup di hidung mancungnya. Lalu, rintik air mulai jatuh membasahi bumi, seolah memahami perasaan Arza saat ini.

"Dek, cuma mau bilang kalau hari ini gue wisuda." Arza menggigit bibir bawahnya. "Lo pernah bilang kalau lo mau lihat gue wisuda 'kan? Makanya itu, hari ini gue ke sini. Gue pengin banget ngehabisin hari ini bareng lo. Gue pengin cerita banyak ke lo, Dek."

Arza mendongakkan kepalanya, menatap langit yang menggelap, sekaligus menahan air mata yang terus saja mengalir. Rasa rindu yang menggebu-gebu kembali menyiksa. Arza hanya ingin bertemu sang adik, lalu memeluknya, mencurahkan rasa rindunya.

"Dek, gue kangen banget sama lo," tutur Arza lirih, "Seharusnya hari ini jadi hari bahagia gue. Kita seharusnya foto bareng hari ini. Setelah itu, kita makan-makan sama Bunda dan Ayah. Seharusnya ... lo masih di sini, Dek."

Arza menyeka sudut matanya. Ia bangkit dan tersenyum sekali lagi. "Mungkin ini nggak begitu penting, tapi gue mau ngambil spesialis nantinya. Medikal bedah, gimana menurut lo? Keren 'kan kakak lo ini?" Arza terkekeh geli. "Iya, dong. Pasti. Cuma sayang aja masih cengeng cuma gara-gara kepergian lo. Padahal, suatu hari nanti kita bakal ketemu 'kan, Dek? Gue nggak sabar pengin cepat-cepat ketemu lo lagi."

Otak Arza kembali memutar bagaimana senyum Aksa yang menenangkan itu. Celotehannya yang kadang tidak bermakna, namun mampu mengisi hari-hari Arza. Membuat Arza bersyukur telah memiliki adik sekuat dan sehebat Aksa.

"Dek, gue pulang, ya." Arza menghela napas panjang, tidak rela jika harus pergi begitu saja. "Kalau memungkinkan, coba sekali-kali hantui gue. Pas gue buka pintu nanti, lo muncul gitu. Gue nggak masalah. Gue cuma pengin ketemu lo."

Pada akhirnya, Arza membalik tubuhnya. Langkahnya gontai saat ia berjalan menuju mobilnya yang berada di parkiran. Berat, seperti ada yang menahannya.

Tapi, tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Karena nyatanya, hujan yang mengguyur bumi dengan derasnya siang hari ini menjadi saksi bahwa Arza tidak akan pernah pulang.

•The End•

A/n

Pengin ngasih sequel, cuma males hehehe

Kalau mau marahin Icha karena endingnya gini, bisa langsung aja komen, DM, atau chat di WA h3h3

EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang