Sedikit Kisah Lama

4.1K 273 38
                                    

"Aksa! Main, yuk!"

Suara samar-samar terdengar di antara derasnya tetesan air hujan yang membasahi bumi sore hari ini. Aksa yang kebetulan sedang berada di ruang keluarga langsung menoleh, menatap ke arah jendela yang langsung menghadap ke taman kecil di depan rumahnya. Lantas, Aksa bangkit. Ia menghampiri jendela. Jemari mungilnya menggenggam teralis yang terasa dingin. Lalu, kedua netranya mendapati lima orang anak dengan jas hujan berwarna-warni berdiri di depan gerbang.

"Kenapa, Dek?" Bunda bertanya. Ia ikut bangkit dari sofa dan menghampiri Aksa. Dilihatnya keadaan di luar rumah. "Teman Adek, ya?"

Aksa mengangguk pelan. "Mau main hujan juga," ucapnya.

Bunda berjongkok di sebelah Aksa, berusaha untuk menyejajarkan tubuhnya dengan sang putra yang kini sudah berusia emoat tahun itu. Dengan penuh kehangatan, ia mengusap puncak kepala Aksa. "Nanti kalau hujan-hujanan, Adek sakit. Main di rumah aja, ya," bujuknya.

"Tapi, teman Asa main hujan." Aksa merajuk. Ia menggoyangkan lengan bunda. "Asa juga mau main sama teman-teman Asa, Bun. Kenapa nggak boleh?"

"Kata siapa nggak boleh?" Bunda sedikit memiringkan kepalanya. "Adek boleh main sama teman Adek, tapi kalau lagi hujan, enakan di rumah. Hangat. Kalau hujan-hujanan, nanti Adek kedinginan, terus sakit."

Aksa menggembungkan kedua pipinya yang memerah karena kesal. Ia sendiri juga tahu kalau dingin mampu membuatnya kembali ambruk. Tapi, keinginannya untuk bermain di luar bersama teman membuat Aksa tidak memedulikan hal itu.

"'Kan pakai jas hujan sama payung." Aksa kembali merajuk. "Mau main sama teman, nggak boleh. Sama Kakak, nggak boleh. Terus, Asa bolehnya main sama siapa?"

Bunda menghela napas. Digendongnya Aksa, lalu dibawanya ke kamar Arza. Dibukanya pintu kayu yang tertutup rapat tersebut sebelum akhirnya masuk ke dalam. Sosok Arza tampak sedang terbaring di atas tempat tidur dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Di kening Arza, terdapat handuk kecil yang berguna untuk kompres.

"Kak Arza demam. Kalau Adek main hujan, nanti demam juga. Nggak mau 'kan?" Bunda menurunkan Aksa dan membiarkan putra bungsunya tersebut menghampiri sang kakak. "Coba pegang tangannya."

Dengan wajah lugunya yang tampak penasaran, Aksa memegang lengan Arza. Hanya sebentar, karena kemudian ia langsung menariknya. "Panas," ucapnya, "Bunda, tangan Kakak panas."

Bunda lantas mengangguk pelan. Ia mengambil handuk kecil yang sudah agak dingin dari kening Arza, lalu merendamnya kembali dengan air hangat. "Kemarin Kakak kehujanan. Terus, sekarang malah sakit. Jadinya nggak bisa main sama sekali. Kalau Adek hujan-hujanan juga, nanti Adek sama kayak Kakak. Emangnya, Adek mau nggak boleh main lagi?"

Aksa dengan cepat menggeleng. Ia naik ke atas ranjang, lalu duduk di sebelah Arza. Diusapnya punggung kakaknya itu dengan lembut. "Kasihan Kakak, ya, Bun," celetuknya. Lengannya dilingkarkan pada tubuh Arza. Meski hawa panasnya mampu membuat Aksa mengernyit, namun ia tetap memeluknya. "Kakak cepat sembuh, ya. Biar bisa main sama Asa lagi."

Biasanya, jika Arza sedang sakit, bunda tidak akan membiarkan Aksa berada berdekatan dengannya. Alasannya sederhana. Karena Aksa memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Bunda tidak mau kalau Aksa tertular. Paling tidak, bunda akan menyuruh Arza maupun Aksa untuk mengenakan masker.

Tapi kali ini, bunda biarkan Aksa berada di sebelah Arza. Meski sedikit khawatir Aksa akan ikut sakit, tapi ketika melihat Aksa tampak senang, bunda menjadi lebih tenang.

"Adek masih mau hujan-hujanan?"

Aksa menggeleng pelan. "Asa mau temenin Kakak aja."

"Yaudah. Setelah ini, mandi, ya. Udah sore." Bunda keluar dari kamar. Sebelum pintu ditutup, ia sempat melihat Aksa berbaring di sebelah Arza, lalu mulai berbicara. Entah apa yang dibicarakannya, bunda biarkan saja. Senyum bunda terukir di wajah, sebelum akhirnya pintu benar-benar tertutup rapat.

•eccedentesiast•

"Adek kenapa di sini?" Arza mengerjap. Kedua matanya yang terasa panas membuatnya mengerang pelan. "Nanti Adek ketularan."

Arza sudah merasa kalau ada Aksa di sebelahnya. Ditambah lagi dengan ocehannya, membuat dirinya yang sejak tadi berusaha menghilangkan rasa sakit dengan tidur langsung terbangun. Alasan lainnya, karena mimpinya yang aneh. Kasur yang seharusnya membuat nyaman malah terasa begitu keras. Kalau kata bunda, tubuh Arza yang sedang dalam kondisi tidak baik yang menyebabkan semua itu.

"Kata Bunda nggak apa-apa," balas Aksa. Ia mengambil boneka kucing dari sisinya, lalu meletakkannya di atas pundak Arza yang kini sudah sepenuhnya duduk. "Meongnya mau main sama Kakak juga."

"Udah sore, Adek udah mandi belum?" Arza bertanya. Ia mengambil boneka kucing di pundaknya, lalu memindahkannya ke atas kepala Aksa.

Aksa tertawa pelan begitu ia menundukkan kepalanya hingga boneka kucingnya terjatuh. Kemudian, kedua mata bulat bermanik cokelat itu sepenuhnya menatap Arza. Kepala Aksa menggeleng perlahan.

"Dingin. Asa nggak mau mandi." Aksa menjawab.

"Adek jorok!" seru Arza. Ia mendorong tubuh Aksa perlahan. "Kakak nggak mau dekat-dekat kalau Adek nggak mau mandi."

Aksa mengerucutkan bibirnya. "Yaudah kalau nggak mau dekat-dekat. Asa mau main ke luar aja." Ia memeluk boneka kucingnya dan berjalan ke luar kamar.

"Bundaaa, Kakak nggak mau main sama Asa!" Teriakan Aksa terdengar, membuat Arza ikut turun dari ranjang dan keluar kamar. Meski kepalanya masih terasa pening, namun rasanya sudah tidak separah kemarin.

"Bundaaa, Kakak jahat."

Arza langsung berlari kecil menghampiri Aksa yang duduk di anak tangga. Masih sambil memeluk boneka kucing kesayangannya itu. "Jangan nangis," ucap Arza. Ia duduk di sebelah Aksa. Diusapnya lelehan air mata yang mengalir di pipi Aksa.

"Kakak nggak sayang Asa, ya?" tanya Aksa.

"Ih, Kakak sayang tahu sama Adek." Arza menjawab cepat. "Kakak sayang banget sama Adek, makanya Kakak mau nemenin Adek."

"Tapi, Kakak tadi bilang nggak mau nemenin Asa."

"Kalau Adek nggak mau mandi." Bukan Arza yang bicara, melainkan bunda. Wanita itu sudah berdiri di belakang keduanya dengan handuk disampirkan di atas pundak. "Ayo, mandi dulu, Dek. Baru setelah itu main sama Kak Arza."

"Nggak mau! Dingin!"

"Pakai air hangat biar nggak dingin." Bunda dengan paksa mengangkat tubuh Aksa.

"Kakak! Kakak, tolongin Asa!" Aksa memberontak. Namun kemudian, ia meringis saat bunda mencubit pipinya gemas.

Arza terkekeh geli. Ia mengikuti bunda yang kini sudah membawa Aksa masuk ke kamar mandi di kamarnya. Saat Aksa melihat ke arahnya, Arza lantas menjulurkan lidahnya, mengejek, yang langsung membuat Aksa makin kesal.

"Kakak jahat!"

•Sedikit Kisah Lama•

A/n

Apa cuma aku yang kangen Aksa?

Kangen ;-;

Awalnya tuh aku mau buat kayak prequel aja. Tapi kapan-kapan deh. Yang ongoing masih banyak soalnya ;-;

EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang