"Nggak tahu, Arza bingung."

3.6K 259 68
                                    

"Kak, di mana? Gue nunggu nih, daritadi!" Suara pekikan Aksa terdengar, membuat Arza menjauhkan ponsel dari telinganya. Sebelah matanya tertutup, sementara sebelahnya lagi terbuka, menampilkan sorot kekesalan karena Aksa yang bisa-bisanya membuat gendang telinga Arza berdenging sesaat.

"Ini udah turun dari mobil," jawab Arza. Ia menekan tombol untuk mengunci pintu mobil dengan kaki yang melangkah, menyusuri lapangan parkir rumah sakit yang lengang.

"Di parkiran dekat IGD, Kak?" Suara Aksa kembali terdengar. "Ih, di sana 'kan seram. Katanya nih, ya, suka ada penampakan. Apalagi kalau lo lagi jalan di lorong. Kadang-kadang suka ada yang ngikutin."

"Nggak dengar, nggak dengar."

"Terus katanya---" Arza dengan cepat memutuskan panggilan tersebut. Ia menyimpan ponsel di dalam saku celananya dan berusaha tidak mengacuhkan dirinya yang saat ini berada di lorong rumah sakit sendirian.

Maklum, sekarang sudah malam. Jarum pendek di arloji Arza sudah menunjukkan angka sembilan. Lebih sedikit orang yang berada di sana. Walau terkadang, ia berpapasan dengan keluarga pasien yang ditugaskan ke apotek rawat inap untuk mengambil obat.

Suasana lorong terasa mencekam. Bagian taman rumah sakit yang tidak diberikan lampu sama sekali, membuat suasananya terasa begitu kelam. Ditambah lagi, rumah sakit ini adalah rumah sakit tua. Sudah ada ratusan orang, bahkan mungkin jutaan orang yang dirawat di sini. Beberapanya mungkin meninggal di rumah sakit ini pula. Tidak heran, banyak cerita mistis yang kadang berembus di antara staf rumah sakit atau pasien dan keluarganya.

Arza menggelengkan kepalanya, berusaha untuk melupakan cerita-cerita seram itu. Lagipula, sudah berkali-kali Aksa dirawat di rumah sakit ini. Sudah berkali-kali Arza menyusuri lorong ini, tapi tidak pernah sekalipun ia mengalami hal yang menyeramkan, seperti cerita yang beredar.

"Mas, Mas, permisi."

Sebuah suara menyentak Arza. Ia menoleh sambil mengelus dadanya. Didapatinya seorang wanita paruh baya berdiri di sebelahnya.

"Maaf mau nanya. Apotek ranap di mana, ya?" Wanita paruh baya itu bertanya. "Saya disuruh ambil obat ke sana."

Arza lantas menghela napas lega. Dikiranya, saat ia menoleh, malah penampakan menyeramkan yang didapatinya. Tapi, yang Arza lihat saat ini benar-benar manusia. Kakinya menapak, napasnya juga terlihat dari pergerakan dadanya. Ia juga sempat menyentuh Arza saat memanggilnya barusan. Bisa Arza pastikan bahwa ia adalah seratus persen manusia!

Kenapa lo jadi parnoan gini, Za?

"Tinggal lurus terus, Bu. Ngelewatin ruang radioterapi sama minimarket. Apotek ranap di sebelah minimarket," jawab Arza pada akhirnya. Ia menunjuk ke lorong temaram di depannya dengan ibu jari.

"Oh, iya." Wanita itu mengangguk mengerti. "Makasih, ya. Duluan, Mas, Mbak."

Tubuh Arza menegang. Apa katanya? Mbak? Mbak yang mana?

Bulu kuduk Arza meremang. Ia lantas mengusap tengkuknya yang terasa lebih dingin. Tanpa menoleh lagi ke mana-mana---untuk mencari keberadaan si Mbak---Arza langsung berjalan menuju ruangan tempat Aksa dirawat.

Bodo amat ia berlari di lorong. Bodo amat dengan lebam di kakinya yang terasa menyiksa. Arza hanya ingin cepat sampai di ruang rawat.

Tapi masalahnya, tiba-tiba saja Arza merasa bahwa ruang rawat itu sangat jauh. Napasnya terengah. Ia lantas menunduk. Tangan Arza ditumpukan pada kedua lututnya yang terasa nyeri. Jantungnya berdetak cepat, seiring dengan aroma tidak sedap yang tercium oleh indra penciumannya.

Ketika Arza mengangkat kepalanya, sesosok makhluk dengan kain putih kotor yang melapisi tubuhnya berdiri di hadapannya. Arza mundur beberapa langkah. Takut tiba-tiba makhluk itu menoleh ke arahnya, Arza langsung membalik tubuhnya. Namun, langkahnya gerakannya terhenti karena makhluk itu ada di depan wajahnya. Menatapnya dengan wajah hancur dan bola matanya yang putih.

Rasanya, oksigen seperti ditarik dari sekitar Arza. Kedua kelopak matanya melebar, sebelum akhirnya menutup sempurna. Setelahnya, tubuh Arza meluruh, menghantam kerasnya lantai.

Lalu, tubuh itu tidak bergerak sama sekali.

•••eccedentesiast•••

Ketika Arza membuka matanya, baru ia sadari bahwa dirinya sekarang berada di kamar, dengan selimut tipis menutupi tubuhnya dan sebuah handuk hangat di keningnya. Perlahan, Arza berusaha bangkit. Handuk yang ada di keningnya terjatuh begitu saja ke pangkuannya. Ditatapnya jam yang ada di atas meja belajar. Pukul tujuh, sepertinya pagi. Karena kalau Arza lihat di luar rumah, kondisinya terang benderang.

"Aduh, Kakak ...." Suara bunda terdengar menyapa indra pendengaran Arza. "Udah enakan? Masih ada yang sakit? Kakak kalau lagi nggak enak badan, jangan maksain ke rumah sakit. Untung, Kakak pingsan pas ada Ayah. Tapi, udah dibawa ke IGD, tapi pas dicek hasilnya bagus-bagus aja. Cuma agak demam, sih. Yah, nggak sampai 38,5 derajat. Kakak kenapa?"

"Ha?"

"Kakak juga sempat sadar, tapi abis itu tidur. Jadinya, Ayah bawa pulang tadi pagi. Ayah asumsiin kalau Kakak kecapekan," lanjut bunda.

Arza memejamkan matanya dan memijat pelipisnya pelan. "Aduh, nggak tahu, ah," gumam Arza. Ia masih ingat jelas apa yang terjadi semalam.

Lalu ... ayah? Ia tidak merasa ada ayahnya. Atau mungkin memang pandangannya terpaku pada penampakan seram itu?

Bunda mengusap puncak kepala Arza perlahan. "Badan kamu hampir ada lebam gara-gara jatuh. Untung Ayah sempat tangkap pas lihat kamu mau pingsan gitu."

Sempat tangkap apanya?! Jelas-jelas Arza merasa dirinya menghantam lantai.

"Nggak tahu, ah. Bingung." Arza mengeluh pelan. Ia kembali berbaring miring karena pening yang dirasakannya. "Aku nggak kuliah dulu, ya."

"Ya, Bunda emang mau ngelarang kamu kuliah dulu." Bunda menaikkan selimut Arza hingga sebatas dada. "Istirahat lagi. Bunda siapin sup ayam dulu, baru kamu makan, ya."

Arza mengangguk pelan, sementara bunda keluar dari kamar. Kedua kelopak matanya hampir saja terpejam jika ia tidak tiba-tiba mencium bau busuk. Sama seperti semalam. Serta sisi ranjangnya yang mendadak bergetar.

Lantas, Arza menahan napasnya. Ia mencengkeram selimutnya. "BUNDAAA!"

•••

A/n

Ngatau kadang aku suka bikin yang begini.

Maaf, jadi sering bikin kayak ginian. Aku cuma gabut aja.

Iya, gabut.

Mau bikin grup orang orang stress ga? Biar kita bisa berpelukan. Aku stress kuliah wkwk

EccedentesiastWhere stories live. Discover now