2

107 40 22
                                    

Empat tahun kemudian ....

***

Angin malam bertiup kencang mengiringi pertengkaran hebat suami istri yang tengah berlangsung. Bentakan, teriakan, bahkan barang rumah yang pecah berantakan akibat dilempar dengan amarah dan desak tangis yang terlampiaskan.

“Perempuan tidak tahu diri!” Bram melempar vas ke lantai.

“Kamu salah paham, Mas.”

Guntur ikut berbunyi, kilatan petir memberi sorotan, hujan turun untuk menemani air mata Nia yang sudah mangalir sedari tadi. Bram menatap Nia yang kini menangis dengan memejamkan mata. Wanitanya kini nampak berantakan dengan rambut yang tergerai tidak rapi dan riasan wajah yang setengah luntur di bagian mata. Darah membeku pada bibir bawahnya menjadi tanda bekas pukulan yang ia terima. Bram mengepal kedua tangannya dengan menampung airmata, ia berjanji dalam hati untuk tidak menangis di depan Nia.

“Kenapa, Nia?” lirih Bram menahan geramnya.

“Kenapa?!” teriaknya membuat Nia menutup kedua telinganya.

“Kenapa kamu mengkhianati pernikahan kita? Apa salahku? Apa yang kurang dari cintaku, Nia?!” Bram mengguncang bahu Nia.

“Demi Tuhan, aku tidak selingkuh.” Nia menggeleng lemah.

“Lantas siapa laki-laki itu? Siapa?!” Bram berteriak bak seekor singa sedang mengaum.

“Di---dia ... dia ....”

“Dia siapa?” Bram melototi Nia.

“Ri---Riko, ma---mantanku waktu kuliah,” Nia mendesis takut.

Plak! Bram menamparnya dengan keras, ia lalu menarik paksa istrinya untuk berdiri dan beranjak menuju ruang tamu.

“Mas, dengar dulu. Kami tidak sengaja bertemu, dia mitra kerja di perusahaanku. Mas, aku mohon percaya sama aku mas. Aku tidak bohong mas, aku tidak selingkuh.” Nia berusaha menahan diri dari seretan suaminya.

“Arrghhh!” teriak Bram menghempas Nia dengan kasar.

Wanita itu terhempas ke lantai, kepalanya yang lebih dulu menyentuh bidang tegel membuat kulitnya robek hingga mengeluarkan darah. Nia memegangi jidatnya, kemudian melihat cairan merah di tangannya. Ia lalu memandangi Bram, suaminya kini diselimuti oleh kemarahan. Lelaki yang ia percaya tidak akan memukulnya malah membuatnya terluka pada dua tempat sekaligus, batin dan fisik.

“Kepercayaan, rasa hormat, bahkan cinta sekalipun sudah hilang dalam diriku untukmu. Detik ini, kamu ku talak.” Bram menatap datar Nia.

Nia terperangah, air matanya jatuh bergantian tanpa izin. Ia melirik sesuatu di belakang Bram, nampak gadis kecil memeluk boneka beruang miliknya. Bram ikut menoleh, ia lalu terdiam dan menyadari bahwa putri tunggalnya sedang menyaksikan detik-detik perceraian mereka. Anehnya, gadis itu hanya diam menatap lurus ke arah ibunya.

“Mama, Ara mau minum.”

Nia melanjutkan tangisannya begitu mendengar suara puterinya. Ia pun berdiri sembari meringis kesakitan, kemudian melangkah mendekati putrinya. Namun, Bram menahan lengannya, lelaki itu malah menyeretnya menuju pintu. Lagi-lagi Baram menghempas Nia dengan kasar, kali ini tepat di lantai teras, untung saja Nia berhasil menahan diri agar tidak tersungkur untuk kedua kalinya.

“Kamu bukan lagi Istriku, ini bukan rumahmu. Sekarang kamu harus pergi. Pergi!” usir Bram.

“Mama!” panggil Ara berlari menyusul kedua orangtuanya.

Bram menangkap gadis kecil itu, ia berhasil menggendongnya walaupun Ara sedikit memberontak. Nia mencoba meraih tangan Ara, tapi Bram menepis dan mendorongnya agar tidak melewati pintu. 

“Mama.” Ara berusaha meraih tangan ibunya.

“Ara, Ara!” Nia sama sekali tidak bisa menyentuh putrinya.

“Mama!” teriak Ara begitu Bram berhasil menutup dan mengunci pintu.

 “Mas ... harusnya kamu lebih percaya sama aku. Bukan sekretarismu,” tangis Nia.

***

“Mama, Mama!” Ara menggerakkan kaki dan tangannya sekuat tenaga.

“Diam, Nak. Ara ....”

“Aku mau Mama, Mama!”

“Ara, dengar Papa, sayang.” Bram berhasil menghentikan bentrokan Ara.

“Mama ....” Ara menangis.

“Ara harus ingat, mama itu orang jahat. Orang jahat tidak boleh tinggal di rumah kita.”

“Kenapa mama jadi jahat, pa?”

“Karena dia bukan orang baik, paham?”

“Tapi ... tapi ... di luar hujan, nanti mama basah.”

“Itu hukuman untuk orang jahat. Sekarang Ara tidur ya, Papa temani.”

Ara mengangguk, Bram lalu menggendongnya kedalam kamar, ia menidurkan putrinya dengan sangat lembut. Beberapa saat setelah Ara tertidur, ponsel milik Bram berdering. Ia merogoh ponsel di saku celananya.

“Halo, kenapa?” Bram mengelus kepalanya penuh frustasi.

“Maaf pak, maaf kalau saya ikut campur dalam urusan rumah tangga anda.”

“Tidak apa, saya justru berterimakasih. Kamu telah memperlihatkan kedok Istriku. Terima kasih, Erna.”

Cinta & TahtaWhere stories live. Discover now