7

67 29 5
                                    

"Sejauh apapun ia berpisah, cinta tidak akan memiliki batasan. Setebal apapun tembok yang menghalangi, tetap akan runtuh oleh sentuhan cinta."

***

"Ara ... Kalau nanti Kakak pergi, Ara jangan nakal, ya?"

Ara mengangguk.

"Pintar! Ara harus menuruti semua perkataan Papa sama Mama."

Ara mengangguk, lagi.

"Bagus!" Reza mengecup kening gadis kecil itu.

"Kakak jangan pergi lama-lama."

Ara meremas lengan baju Reza. Sang Kakak pun tersenyum mengusap lembut wajah Adiknya.

"Ara sayang sama Kakak Reza, tidak?"

"Sayang."

"Kalau sayang, Ara jangan suruh kakak cepat pulang, ya?"

"Kenapa?"

"Karena ... Kakak harus belajar banyak-banyak!" Reza membentangkan tangannya.

"Supaya pintar?"

"Iya, dong. Supaya Kakak bisa bantu Papa jaga kantor, kata Mama begitu."

Reza memperbaiki posisi duduknya, sementara Ara memilih untuk bermain ayunan. Saat ini mereka sedang bersantai di taman belakang rumah. Reza tersenyum melihat Ara yang mengayunkan dirinya sembari menyanyikan lagu kanak-kanak.

***

Waktu berlalu, Ara tumbuh besar menjadi gadis cantik. Sementara Reza jauh darinya, kadang kala mereka bertukar kabar melalui telepon.

Kini, gadis itu berseragam putih abu-abu. Ia sedang duduk di taman sekolah, sembari memangku buku yang terbuka. Ia memandangi langit di bawah rindangnya pohon ketapel. Ara sedang mengingat sesuatu, perkataan yang tidak bisa ia lupakan.

Ara ... Sejauh apapun ia berpisah, cinta tidak akan memikiki batasan. Setebal apapun tembok yang menghalangi, tetap akan runtuh oleh sentuhan cinta. Percayalah.

Gadis itu tersenyum mengingat nada suara Reza di seberang telepon, kala itu. Mungkin sangat mustahil bila ada kata 'cinta' untuk mereka berdua. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya memiliki getaran yang sama.

"Kakak ... Aku menunggumu," gumam Ara masih menatap langit.

***

Riko memandangi foto pernikahan berukuran besar yang terpajang tepat depan ranjangnya. Ia tersenyum memperhatikan sosok anggun Nia berbalut kebaya putih dengan mahkota di kepalanya. Pria berusia paruh baya itu terus saja jatuh cinta pada Istrinya setiap hari.

“Sudah sepuluh tahun, Nia. Dan aku tetap saja mencinta.”

“Ayah! Cepat Ayah! Ayah!” teriak seorang remaja menggedor pintu dari luar.

“Iya, sabar sedikit.” Riko segera mengambil dompet dan kunci mobil.

Ia lantas membuka pintu, tampak putrinya yang manis kini tampil berseragam putih biru, kini ia sedang mengikat sepatu. Riko melirik roti dan susu yang ia siapkan tadi tidak berkurang sama sekali. Ia lalu menggeleng kesal.

Cinta & TahtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang