3

80 36 4
                                    

Kilatan petir dan gemuruh guntur masih saja setia menemani, mereka bahkan menjadi saksi sumpah Nia. Hujan deras mengguyur tubuh wanita itu. Tanpa alas kaki, ia berjalan membelah hujan. Dengan lamunan panjang, ia menelusuri aspal yang kosong. Hanya beberapa lampu jalanan yang menemani langkahnya yang kini berada di tengah-tengah jalanan. Sebuah mobil di belakangnya membunyikan klakson akibat merasa terhalang dengan keberadaan Nia. Namun, wanita itu tidak bergeming sama sekali, lamunan membuat kedua telinganya membisu.

“Nia?” tegur seseorang berhasil membuyarkan lamunannya.

“Mas ....” Nia menyadari bayangan payung dan sosok pria tinggi di sampingnya.

***

Nia memandangi setiap sudut apartement milik Riko, semua nampak lebih meodern daripada sebelumnya. Saat ini, dia duduk pada sofa berwarna kuning lembut dengan balutan handuk di pundaknya. Beberapa saat kemudian, Riko muncul dari kamarnya dengan membawa kotak P3K.

“Bajunya cocok?” 

Riko mempertanyakan dress selutut milik kakaknya yang tertinggal dan kini tengah dikenakan oleh Nia. Mantan kekasihnya itu mengangguk canggung, hal itu membuat Riko menghela napas dengan berat. Ia lalu meletakkan kotak P3K tepat di depan Nia.

“Obati dulu lukamu, aku buatkan teh.”

Nia menatap punggung Riko yang beranjak menuju dapur. Nia mampu menangkap sosok Riko yang kini sedang fokus mengotak atik dapurnya yang tak jauh dari posisi Nia. Sesekali Riko meliriknya, ia lalu tersenyum. Sayangnya, Nia masih merasa canggung. Lelaki itu sama sekali tidak menyentuhnya dari tadi. Riko benar-benar sosok yang sopan dan sangat menjaga wanita. Dulu, Bram juga seperti itu, pikir Nia.

“Terima kasih,” ucap Nia.

“Tidak masalah, obati lukamu.” 

Nia pun mulai membuka kotak P3K tersebut, ia mengambil kasa dan antiseptik. Disaat yang bersamaan, Riko datang membawa nampan berisikan dua cangkir teh dan beberapa cemilan berupa kue kering dalam toples. Nia nampak kesulitan menemukan luka di dahinya.

“Hehe, sini ku bantu,” kekeh Riko.

Mereka lalu diam sejenak, Riko menyadari dia baru saja memperlakukan Nia seperti kekasihnya. Nia menundukkan pandangannya, merasa bingung hendak berbuat apa dia saat ini. Riko menata teh dan toples kue, sedangkan Nia kembali berusaha menemukan lukanya.

“Boleh ku bantu?” tanya Riko.

“Silakan.”

Riko lalu mengambil kasa dalam genggaman Nia, ia pun mulai menyingkirkan beberapa helai rambut basah Nia yang menutupi sebagian lukanya. Riko menempelkan kasa berkali-kali dengan hati-hati sambil sesekali meniup luka tersebut. Nia pun tak kala mendesis setiap kali rasa perih antiseptik ia rasakan.

“Sudah.” Riko membereskan kotak P3K.

“Terima kasih.”

“Hei, apa tidak ada kata lain?” Riko menaikkan kedua alisnya sembari tersenyum.

“Maaf,” lirih Nia.

“Oh, ayolah! Anggap aku ini kakakmu,” ketus Riko.

Nia tersenyum, hal itu membuat Riko merasa lega. Ia lalu menyodorkan teh pada Nia. Untuk beberapa saat, mereka menghening. Riko merasa tidak enak untuk bertanya tentang Nia, sedangkan Nia sendiri merasa malu jika harus banyak bicara. Sampai masuk tengah malam, akhirnya Riko angkat bicara.

Cinta & TahtaWhere stories live. Discover now