Bus yang kami tumpangi itu sampai di terminal tujuan ketika hari mulai beranjak siang. Suasana ramai hiruk pikuk terminal segera menyambut kami ketika kami turun dari bus. Kami berdua berjalan ke arah luar terminal, dan mencari-cari angkutan umum berikutnya yang akan membawa kami tempat tujuan liburan, yaitu pantai.
Singkat cerita, akhirnya kami sampai di pantai tempat tujuan liburan kami, namun matahari sedang berada diatas kepala. Ara kemudian memutuskan untuk berteduh dulu di sebuah warung bambu di tepi pantai itu, dan memesan es kelapa muda. Gue mengikutinya memesan es yang sama. Ara duduk bersila di sebuah bangku lebar yang terbuat dari bambu, dan tampak asyik menghabiskan es pesanannya.
“disini kok agak sepi si” celetuk gue sambil memandang sekeliling.
Ara mendongak, sambil menggigit sendok kecil yang sedari tadi dipakainya. Dia juga memandang sekeliling.
“iya juga ya” dia memegangi sendok, “barangkali sekarang lagi ga musim liburan….”
“kitanya aja yang nyasar sampe sini” sambungnya sambil nyengir.
“menurut gue sih malah asik gini, Ra. Sepi”
“hayooo, mikir apa lo?” pelototnya.
“apaan? Gue ga mikir apa-apa!” protes gue.
“lo ga mikir apa-apa tapi muka lo mesum!”
“muka gue dari sononya udah kaya gini kali, Ra….”
Anjir muka gue dikatain mesum, apa kata bapak ibu gue di kampung ya…
Ara nyengir bego.
“ntar kalo udah ga panas, kita jalan-jalan yuk” ajaknya sambil memainkan sedotan di mulutnya.
“iyaa, lagi ngapain udah sampe sini ga jalan-jalan, mubazir amat” sahut gue kalem.
“kalo gitu kita jalan-jalan sampe nyasar”
Gue tertawa mendengar itu.
“kalo kita nyasar yang repot gue” kata gue pelan.
“kenapa emang”
“gue kan cowok, harus bertanggung jawab sama ceweknya. Apalagi lo bawel gitu, tambah stress kan gue”
“emang gue cewek lo?” balasnya sambil cemberut.
Mendadak gue kikuk. Sepertinya gue salah omong. Bukan itu maksud gue, tapi Ara terlanjur menangkap arti yang lain dari omongan gue itu.
“gini loh, lo kan pergi sama gue. Gue cowok dan lo cewek. Otomatis si cowok harus bertanggung jawab sama keselamatan si cewek dong. Ya nggak?” jelas gue panjang lebar, “bukan berarti lo cewek gue…”
Ara tertawa.
“ngejelasinnya biasa aja siiih, ga usah panik gitu” ujarnya sambil menepuk pipi gue pelan.
“gue biasa aja kok” elak gue.
“apaan lo ngomongnya gagap ah-uh ah-uh gitu”
“soalnya gue takut dipelototin sama lo kalo gue salah omong…”
“gue ga sehoror itu kali, Gil…” sahutnya sambil mengaduk-aduk esnya yang hampir habis.
Ketika matahari mulai condong ke barat, gue dan Ara mulai menjelajahi seisi pantai, dan bermain-main dengan pasir. Banyak yang gue nikmati disana, mulai dari debur ombak yang terdengar seperti melodi yang indah di telinga gue, sampai dengan lemparan segenggam pasir dari Ara yang tepat mengenai muka gue. Ara tertawa cekikikan puas, dan gue mengejarnya dengan sebongkah pasir di kedua tangan gue. Entah berapa jauh kami berdua berkejaran, yang jelas gue ga berhasil menempelkan pasir itu di wajah Ara, karena dia mengancam akan menabok gue kalo gue melakukannya.
Gue dan Ara menghabiskan waktu ngobrol segala sesuatu yang menurut gue ga penting, sambil duduk-duduk diatas pasir, menikmati ombak. Meskipun pasir itu ga berwarna putih, dan air laut ga berwarna biru cerah, gue rasa momen ini ga kalah indah. Mungkin karena kehadiran cewek berambut pendek disamping gue ini.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore lebih sedikit ketika gue dan Ara memutuskan untuk pulang. Kami berjalan pelan-pelan ke arah pintu keluar, sambil tetap memandangi lautan. Seakan kami ga rela untuk berpisah dengan alam yang membuat hari ini indah.
Di luar gerbang masuk pantai, gue dan Ara celingukan, mencari angkutan
umum ga ada yang lewat. Sepertinya kami kesorean.“mana si angkotnya” gerutu Ara.
“sabar, ditunggu aja” ucap gue menenangkan.
“keburu gelap nih”
Benar juga kata Ara, waktu udah menunjukkan pukul setengah enam sore. Sebentar lagi gelap, dan gue ga mau kami berdua terjebak disini. Gue kemudian mengajak Ara berjalan, kali-kali aja kami menemukan angkutan umum yang lewat. Akhirnya setelah cukup jauh berjalan, kami menemukan sebuah angkutan umum yang sedang “ngetem” di suatu perempatan. Segera kami naik, dan untungnya dia melewati terminal bus yang akan kami tuju.
Sesampai di terminal bus, kami berdua langsung berlari ke arah agen bus yang kami tumpangi tadi pagi. Siapa tahu masih ada sisa tempat duduk untuk kembali ke Jakarta. Namun sial untuk kami, ternyata bus terakhir yang menuju ke Jakarta telah berangkat pukul lima sore tadi. Gue lemas, dan Ara cuma bisa terduduk bengong di kantor agen bus itu.
“Ra…”
Ara diam saja.
“Ra….”
“apa?”
“gimana nih”
“tauk”
“mau ga mau kita cari penginepan di deket sini aja gimana” gue menawarkan.
“ogah…”
“trus kita mau ngapain disini”
“cari taksi aja balik ke Jakarta”
“kaga ada taksi disini” jawab gue lemas.
“naik apa aja deh” dia ngotot.
“ya udah coba kita cari deh” ajak gue sambil menggandengnya keluar.
Di luar terminal kami memandang berkeliling. Tapi sejauh mata memandang, ga ada satupun angkutan jarak jauh di sekitar situ. Yang ada hanyalah sisa-sisa angkutan umum yang masih ada, dan beberapa ojek motor. Ga mungkin juga balik naik ojek.
“Ra, udah deh nginep sini aja yaa?” bujuk gue.
Ara terdiam dan cemberut.
“daripada tidur di terminal loh….”
“…….”
“ntar dipalakin orang”
“…….”
“ntar disangka gembel….”“……..”
“Raaa….”
“ya udah cepet cari penginepan sono gih!” perintahnya dengan rewel.
“iya iya….”
Akhirnya dengan usaha bertanya kesana kemari, gue berhasil mendapatkan alamat penginapan sederhana di dekat terminal situ. Kuno dan agak ga terawat menurut gue. Sementara Ara cuma cemberut dari tadi. Ketika kami memasuki kamar yang dimaksud, ternyata tempat tidurnya berukuran sedang, dan hanya ada satu. Cukup sih sebenarnya buat berdua, tapi apa Ara mau tidur berdua sama gue, pikir gue.
“ra, tempat tidurnya cuma satu, gimana nih….”
“……..”
“cukup sih kalo berdua”
Ara melotot sambil berkacak pinggang. Nyali gue langsung ciut.
“iya-iya gue tidur di lantai aja gapapa….” sahut gue lemas.
Ara terdiam agak lama.
“ga usah” katanya singkat.
“lah terus?”
“lo tidur diatas aja bareng gue” jawabnya sambil menaruh tas di kursi, dan kemudian menoleh ke gue, “tapi awas kalo lo macem-macem….”
Gue cuma bisa mengangguk pelan, sambil menghela napas panjang. Gue duduk di salah satu kursi di sudut sambil memandangi Ara yang berjalan masuk ke kamar mandi. Sepertinya malam ini bakal jadi malam yang panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Yang Sempurna
Teen FictionGue selalu percaya, apapun yang kita alami di dunia ini selalu memiliki alasan tersendiri. Ga terkecuali dengan kehadiran orang-orang di kehidupan kita. Setiap orang, setiap hal, memiliki perannya masing-masing di kehidupan kita ini. Ada yang datang...