Part 14

51 3 0
                                    

Gue berbaring di tempat tidur berukuran sedang itu, sementara Ara berbaring meringkuk di samping gue, membelakangi gue. Sepertinya dia kelelahan, dan tertidur. Tinggallah gue sendirian, memandangi langit-langit kamar yang terlihat kusam. Besok kami berencana pagi-pagi sekali ke terminal, dan menaiki bus pertama yang membawa kami pulang.

Dengan gelisah gue merubah-rubah posisi tidur gue, sementara Ara telah tertidur, dan dia berbalik menghadap ke arah gue. Waduh. Gue kembali menghadap langit-langit, sesekali melirik Ara yang tertidur dengan wajah polosnya disamping gue, dan gue berusaha untuk memejamkan mata sekali lagi. Entah kenapa malam itu gue sama sekali ga merasa ngantuk.

“lo ga tidur?” cewek disamping gue ini tiba-tiba bersuara.

Gue menoleh ke samping.

“loh, kok bangun, Ra?” gue terkejut, “iya ga bisa tidur gue…”

“sama, gue juga ga bisa tidur…” sahutnya pelan.

“terima kasih ya” ucapnya sambil tersenyum.

“buat apa, Ra?”

“buat hari ini”

Gue tersenyum memandanginya, dan mengangguk pelan.

“sori ya kita jadi ketinggalan bus” 

“bukan salah lo kok. Emang kitanya lagi apes aja…” Ara menenangkan gue. “gue juga sama salahnya kaya lo kalo gitu…” sambungnya sambil tertawa lirih.

“kenapa lo ngebolehin gue tidur diatas bareng lo?” tanya gue.

Ara merubah posisi tidurnya, dan menyelipkan sebelah tangannya ke bawah bantal. Dia menghadap gue dengan tersenyum.

“mana gue tega sih ngebiarin lo tidur di lantai” sahutnya kalem.

“tapi kan….”

“gue percaya sama lo kok, lo orang baik.” potongnya.

Giliran gue yang tertawa lirih sambil memandangi langit-langit. Entah kenapa gue ga memiliki keberanian bertatap muka langsung dengannya dalam posisi sedekat ini.

“thanks, Ra…” ujar gue.

“lo tidur gih, besok bangun pagi” sahutnya sambil tersenyum menepuk dada gue, dan berbalik membelakangi gue.

Hari masih gelap, namun pagi itu kami telah duduk di agen bus yang bahkan baru akan buka. Dinginnya cukup menusuk karena pagi itu berangin. Gue melirik Ara yang duduk disamping gue dengan wajah yang masih ngantuk sambil meminum sekotak susu kemasan. Rambutnya yang cukup pendek itu dijepit diatas dengan jepit rambut berwarna pink, dengan menyisakan beberapa helai rambut yang menjuntai di kanan kirinya.

Akhirnya bus yang kami nanti-nantikan sejak semalam tiba juga, dan kami bergegas menaiki bus tersebut, meskipun kamilah penumpang pertama diatas. Ara kali ini memilih kursi yang terdepan, dan di dekat jendela, tentu saja. Sepanjang perjalanan Ara ga henti-hentinya mengomentari pemandangan indah yang kembali kami lihat di samping kanan-kiri bus. Gue baru sepenuhnya menyadari kalau Ara adalah seseorang yang sangat mengagumi alam. Dia lebih senang berjalan-jalan di alam bebas daripada di mall. Dan menurut gue, hal itulah yang membuat kepedulian dan kepekaannya terhadap lingkungan tumbuh melebihi orang-orang lain disekitarnya.

“besok-besok kita liburan lagi ya” kata gue sambil menatap ke luar jendela bus.

Ara menoleh ke gue.

“boleh, lo asik juga diajak liburan si” sahutnya sambil tertawa.

“maksud lo asik?”

“ga ribet”

Gue tertawa kecil, dan menghela napas panjang.

“liburan yang penting itu dinikmatin, bukan diribetin” ujar gue.

“eh, Gilang,” Ara mendadak berbalik menghadap gue, badannya dicondongkan ke depan ke arah gue dan tersenyum penuh arti, “gue cantik ga?” tanyanya.

Gue terdiam sejenak. Gue ga menyangka dia akan mendadak bertanya hal itu.

“banget….” jawab gue akhirnya.

Ara tersenyum senang, dan kembali menikmati pemandangan di sampingnya. 

--------:::--------

Beberapa hari kemudian, gue balik ke kos sendirian. Hari itu Ara ga berangkat kuliah karena sakit flu di malam sebelumnya. Gue menaiki tangga, dan menaruh tas di kamar gue terlebih dahulu, baru mengetuk pintu kamarnya pelan.

“Raaa….” panggil gue.

“masuk aja, Gil…” terdengar suara Ara dari dalam kamar.

Gue masuk ke kamarnya, dan melihat Ara sedang tiduran di kasurnya, dengan selimut menutupi setengah badannya. Rambutnya acak-acakan, dan tampak sekali dia sedang sakit.

“gue bawain makan nih, Ra” ujar gue sambil menaruh bungkusan di meja. “lo udah minum obat?” tanya gue.

Ara menggeleng.

“kok belom minum obat si, makan dulu gih, abis itu minum obat”

Ara kemudian berusaha duduk, dan bersila di kasurnya, dengan rambut yang acak-acakan menutupi wajahnya. Gue ingin tertawa melihat raut wajahnya itu.

“makan dulu, Ra” bujuk gue.

Ara terdiam, dan raut wajahnya berubah jadi cemberut.

“kenapa, Ra?”

“suapin kek….”

Gue tertawa pelan, dan membuka bungkusan yang tadi gue bawa beserta sendok.

“iya iya….”

Dunia Yang SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang