Part 21

55 3 0
                                    

3 Maret 2007.

Gue berdiri bersandar di balkon depan kamar, seperti yang selalu gue lakukan sejak tinggal disini. Gue memandangi deretan kamar di seberang, dan mengamati kegiatan penghuninya yang bermacam-macam. Ada yang keluar masuk kamar dengan membawa cucian, ada yang bermain gitar, ada yang tertutup. Hampir setahun gue berada disini, banyak hal yang berkesan di hati gue.

Gue menoleh ke kamar yang masih tertutup di belakang gue, kamar Ara. Sang pemilik kamar masih pergi bersama teman-teman ceweknya, ngemall, katanya. Yang namanya cewek, kalau sudah ketemu dan ngerumpi, mungkin ga ada yang bisa mengganggu. Gue membayangkan sekarang dia berada di sebuah restoran cepat saji di mall, dan tertawa cekikikan dengan khasnya, bersama teman-temannya yang lain.

Gue mulai mengantuk, tapi ada hal lain yang menahan gue agar tidak tertidur. Gue masuk ke kamar, membuat segelas kopi, dan menaruhnya di balkon, sambil merokok, memandangi langit malam. Sesekali gue melirik ke kamar, dan tersenyum antusias ketika melihat sesuatu di dalam kamar. Sambil memegang rokok di tangan kiri, gue mengambil selembar Post It, dan menuliskan sesuatu, kemudian gue selipkan di bawah pintu kamar Ara. Ketika selesai, gue masuk ke kamar dan mematikan lampu, menunggu.

Selama di dalam kamar yang gelap itu gue memasang telinga, di sela-sela keheningan malam. Sekitar jam sepuluh malam gue mendengar Ara datang, dan membuka kamar. Dia menyalakan lampu, kemudian beres-beres, seperti yang selalu dia lakukan selama ini. Kegiatannya bahkan sudah gue hapalkan, sehingga dengan mata terpejam pun gue bisa membayangkan apa yang dia lakukan di sebelah.

Menjelang jam dua belas, gue perlahan membuka kamar, dan melihat keadaan di kanan kiri kamar gue. Sepi, cuma ada beberapa penghuni kamar seberang yang masih terjaga, karena pintu kamarnya masih terbuka. Setelah keadaan gue yakin aman, barang yang gue siapkan dari tadi siang gue keluarkan, dan melakukan persiapan terakhir, kemudian menunggu.

Beberapa saat gue menunggu, dan melirik jam dinding di kamar gue dari balkon. Akhirnya pintu kamar yang ada di hadapan gue terbuka, dan sosok yang ada di depan gue tampak terkejut melihat gue dan barang yang gue bawa. Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan, dan tak bisa berkata-kata. Gue cuma bisa tersenyum lebar.

“happy birthday, Soraya…” ucap gue pelan.

Di tangan gue ada sekotak kue tart berukuran sedang, dengan hiasan warna-warni, dan dua buah lilin angka yang menunjukkan angka sembilan belas.

“aih, lo…. lo yang nyiapin?” katanya tak percaya, dan memandang gue dengan kue tart itu takjub.

gue tertawa pelan.

“iya lah, siapa lagi…” gue menunjuk kue dengan gesture alis, “tiup gih lilinnya….”

“make a wish dulu dong?”

“iyaa, make a wish dulu….”

Ara memejamkan mata, sambil menangkupkan tangan di dada, dan tersenyum. Dia sedang memanjatkan permohonannya. Sesaat kemudian, dia membuka mata, dan kemudian meniup lilin itu lembut.

“happy birthday yaah, semoga doa-doa dan cita-cita lo dikabulkan, dan lo bakal menjalani hidup yang hebat setahun kedepan…”

Ara tersenyum sambil menggembungkan pipinya. “kok cuma setahun?”

“ya kan tahun depan make a wish lagi hehehe….”

Dunia Yang SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang