Bagian tak berjudul

11 0 0
                                    


 Sisa-sisa air hujan masih menggenangi tanah. Tetesan-tetesan air masih terus-terusan bertabrakan dengan baskom dan mangkok, menghasilkan suara khas tetesan air hujan dari atap rumah yang bocor. Tampak seorang anak kecil sedang susah payah memakai sarung yang tampaknya masih kedodoran. Terdengar pelan tapi pasti, suara bel sepeda onthel onta semakin mendekat.

Masih kondisi setengah sadar, Cak Chiku mencoba mencerna apa yang sedang dilihat di sekelilingnya. Semuanya tampak seperti tak asing. Rumah sangat sederhana berukuran empat kali enam meter. Dinding berwarna hijau lumut yang dihiasi dengan lumut sungguhan. Genteng dari tanah liat yang berwarna merah kehitaman akibat pembakaran genteng yang terlalu lama. Pajangan foto anak kecil yang berpelukan dengan boneka casper terpampang megah di ruang utama rumah itu, atau tepatnya ruang utama yang dijadikan dapur, ruang tamu, dan ruang keluarga.

Cak Chiku berusaha menegakkan pijakannya. Memijat-mijat keningnya agar kepalanya tidak terasa ingin pecah berkeping-keping. Tak lama kemudian, terdengar suara sepeda yang jatuh diiringi tangisan anak kecil. Disusul suara tawa seorang kakek sembari membujuk anak kecil agar tangisnya berhenti. Cak Chiku rasanya ingin menolong, tapi tubuhnya tak bisa bergerak, seperti ditahan kekuatan supranatural.

Tiba-tiba Cak Chiku bisa merasakan interaksi Kakek dan anak kecil tersebut. Kehangatan interaksi antar keduanya membantu kesadaran Cak Chiku perlahan-lahan pulih. Ikatan seorang kakek dan cucu, itulah yang dirasakan Cak Chiku. Setelah kesadarannya pulih, tiba-tiba tubuh Cak Chiku melayang tak tentu arah.

Dubrakkk...

Glodakkk...

Klotak...Klotak...Klotak...

Tubuh Cak Chiku mendarat di atas tumpukan bambu-bambu kering. Tepat disebrangnya terdapat surau kecil tapi kelihatan terawat dan bersih. Terpampang papan nama surau tersebut. Ittihadut Tholibin. Berkumpulnya orang-orang mencari ilmu.

Allah wujud qidam baqa' Mukhallfatu lil Hawaditsi...

Suara nya terdengar fals, tak berirama, tapi terdengar indah dan ceria. Paduan suara anak kecil dan kakek tadi sambil mengayuh sepeda onthel onta menuju surau. Sesampai surau, mereka berdua bergegas ke padasan yang terletak di samping utara surau. Membasuh muka yang sebelumnya berkumur-kumur, kemudian dilanjutkan membasuh kedua tangan, mengusap kepala, membersihkan kedua telinga, dan diakhiri mencuci kedua kaki. Tak lama kemudian mereka berdua menghadap ke arah terbenamnya matahari, mengangkat kedua tangan.

"Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wahdahu laa syariika lahu, wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa Rasuuluhu. Allahumma j'alnii minat tawwabiina, waj'alnii minal mutathahiriina waj'alnii min 'ibaadikash shalihiina."

Setelah beberapa menit, Cak Chiku baru tersadar, bagaimana jarak sejauh tiga ratus meter, bisa mendengar secara jelas apa yang diucapkan kakek dan anak kecil itu.

-

Botol-botol berjajar rapi. Gelas kecil berisi fermentasi gandum menemani seorang pemuda jangkung berambut keriting. Kaos berwarna hitam bertuliskan Is Religion still relevant tampak kedodoran. Lampu yang hampir mati membuat pemuda tersebut seperti sedang menyambut Malaikat Izrail menjemputnya.

Gelap...Kelam...Hampa... Itulah yang dirasakan Cak Chiku. Dadanya terasa sesak. Pandangannya terbatas. Tangannya bergetar seperti kedinginan. Sudah tak terhitung berapa kata-kata kotor yang diumpat oleh Cak Chiku. Rasanya ingin mengutuk pemuda yang disampingnya, yang kalau tak salah hitung, sudah sembilan puluh sembilan kali tegukan gelas yang dihabiskan. Tapi semua itu rasanya percuma, Cak Chiku tak dihiraukan sama sekali, padahal mereka berdua di satu meja, duduk bersandingan.

Hanya satu yang membuat Cak Chiku mengernyitkan dahi, kemudian terkekeh pelan. Design kaos bagian belakang pemuda tersebut bergambar ponokawan. Gus Dur, Gus Mus, Cak Nun, dan Presiden Jancukers - Sujiwo Tedjo. Heuheuheu...

Pemuda itu memandangi layar smartphone dalam-dalam. Jari-jari nya menggeser-geser layar. Raut mukanya berubah menjadi penuh luapan emosi. Emosi yang sekuat mungkin ditahan bertahun-tahun. Emosi yang tersimpan rapi di dalam pikirannya. Tanpa aba-aba, dalam sekejap, smartphone berpindah tempat ke dinding seberang meja. Pecah berkeping-keping. Jeritan menjadi backsound pertemuan smartphone dan dinding.

Anehnya, Cak Chiku hanya terdiam melihat kejadian persis di depan kedua bola matanya. Luapan emosi pemuda dihadapannya memenuhi kepala Cak Chiku. Kepalanya menjadi linglung. Perutnya terasa mual. Semua isi dari dalam perut memenuhi rongga kerongkongan, meninggalkan rasa khas muntahan dari dalam perut.

Hoorrkkhhh... Hueeekkk... Juuhhh... Juhhh...

Hoorrkkhhh... Hueeekkk...

Hoorrkkhhh... Hueeekkk... Hoorrkkhhh... Hueeekkk...

Pemuda berambut keriting kembali meneguk gelas. Sialnya, gelas di genggaman tangannya jatuh bebas ke lantai. Lantai dibawah meja menjadi basah. Entah basah karena tumpahan air dari gelas yang pecah atau tetesan air mata.

Sejauh empat ratus lima puluh satu kilometer dari tempat ini, seorang bapak paruh baya sedang ngobrol asik di warung kopi menceritakan kisah sukses anak nya. Anak yang sedari kecil dididik untuk menghadapi kerasnya kehidupan, pahitnya kenyataan, dan menaklukan nasib.

Sejauh tiga ratus lima puluh kilometer dari tempat ini, sepasang kekasih sedang bercumbu memadu kasih, berciuman, saling melepaskan pakaian masing-masing, hingga tak tersisa satu helai benang di tubuh mereka, menikmati kenikmatan surgawi.

Sejauh dua ratus lima puluh kilometer, seorang ibu rumah tangga sedang bersujud, bertasbih, dan berdoa. Memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, keselamatan anak kebanggaanya, yang hampir satu tahun tak jumpa.

Raksasa dan Malaikat KecilWhere stories live. Discover now