03. Berbelanja

24 3 0
                                    

03.

Berbelanja.

》ACTION!《

Berlin, 2025.

Waktu telah menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Semakin lama, temperatur suhu di kamarku nampaknya semakin menurun. Jemariku yang menari-nari lincah merangkai aksara terhenti sesaat karena hawa dingin telah menyelimuti sekujur tubuh.

Merapatkan jaket yang kukenakan, aku mengusap-usapkan kedua tanganku, lalu meletakkannya di kedua pipi. Cara sederhana yang cukup ampuh untuk menyalurkan sedikit kehangatan.

Drrtt! Drrtt! Drrtt!

Aku mengernyitkan dahi ketika ponselku bervibrasi. Ada sebuah panggilan masuk. Siapa yang meneleponku malam-malam begini?

Kulihat nomor telepon yang menghubungiku. Nomor tidak dikenal. Akan tetapi, kode telepon nomor tersebut adalah +62, kode telepon Indonesia. Sesaat sebelum mengangkatnya, aku menebak-nebak siapa gerangan yang menelepon malam-malam begini.

"Halo? Siapa?"

"Lama amat ngangkatnya!"

Aku terdiam sesaat dengan kedua mata yang membola. Suara ini ... tidak mungkin.

"Nabila?"

Di seberang sana, Nabila menghela napas panjang. "Iya, ini gue. Kelamaan di Jerman sih, jadi lupa kan sama temen sendiri. Makanya, buru balik ke sini!"

Aku tertawa kecil mendengar omelannya. Kalaupun aku bisa sejenak meninggalkan kesibukan di Berlin, pastinya aku sudah memesan tiket agar bisa kembali ke tanah air. Sayangnya, meskipun sudah liburan seperti ini, aku masih memiliki banyak tanggungan. Ditambah dengan suamiku yang sedang dalam kondisi tidak sempurna, tentu saja aku tidak tega meninggalkannya.

"Bisa sakit juga tuh anak? Baru tahu gue," Nabila menimpali ceritaku tentang kondisi suamiku, "Cepat sembuh buat dia. Maaf banget nih, gue nggak bisa ke sana."

Aku kembali tertawa. "Kayak lo punya duit aja buat nyusul gue."

"Eh, dikira gue miskin!"

Kami berdua tertawa bersama. Setelah lama berpisah, akhirnya Semesta kembali berbaik hati sehingga kami bisa berbagi cerita kembali.

Di bawah langit yang sama, waktu dan tempat berbeda, aku menghabiskan sisa malamku bersama Nabila. Kami bernostalgia bersama. Memori apapun yang terjadi selama kami SMA--meski tidak penting sekalipun--kami bicarakan.

***

Semarang, 2015.

Aroma khas buku-buku baru menyeruak begitu langkahku tiba di lantai dua Gramedoi. Rasa kesal karena ditarik seenak jidat oleh Kak Reygan seketika menguap pergi.

Aku mendongak menatap Kak Reygan. "Nanti ketemu di sini lagi, ya, Kak," ucapku. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku segera melenggang pergi menuju rak bagian buku novel. Untuk sekarang, mari kita bersenang-senang. Tidak perlu kita pikirkan keberadaan Kak Reygan yang entah sedang berbuat apa.

Aku meraih dua buah novel yang masuk dalam daftar buku yang ingin kubeli. Sayangnya, uang yang kubawa tidak cukup untuk membeli keduanya karena setelah ini aku harus mencari bahan-bahan untuk mading FOSMA.

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang