04. Hari Jadi Pernikahan

13 2 0
                                    

04.

Hari Jadi Pernikahan.

》ACTION!《

Selain agenda kumpul rutin keluarga tiap dua bulan sekali, masih ada tradisi lain dalam keluarga besarku. Salah satu di antaranya adalah peringatan hari jadi pernikahan. Acara ini rutin diselenggarakan tiap tiga tahun sekali oleh pasangan suami-istri yang bersangkutan. Seluruh anggota keluarga besar diharuskan mengikuti acara sakral ini.

Di hari Sabtu cerah ini, aku terpaksa mengorbankan waktu untuk rebahan hanya untuk mendatangi hari jadi pernikahan Budhe Retno, salah satu tanteku dari keluarga Bunda. Kalau bukan karena Budhe Retno yang menyiapkan menu makan favoritku, dapat dipastikan aku akan membuat alasan palsu agar aku dapat berpelukan dengan guling tercinta.

Seisi rumah Budhe Retno dihias sedemikian megahnya dengan pernak-pernik bercorak emas, menimbulkan kesan elegan yang cocok dengan image seorang Retno Gayatri, wanita paruh baya yang kecantikannya tak luntur dimakan usia.

"Budhe, Rega ada?" Kak Raga--kakak laki-lakiku--bertanya saat Budhe Retno berjalan di depan kami. Tak lupa, kami mencium punggung tangan Budhe Retno sebagai formalitas.

"Rega di belakang sama Raras. Kalian ke sana aja." Budhe menunjuk sebuah pintu putih yang menghubungkan ruangan luas ini dengan halaman belakang. "Budhe tinggal dulu, ya. Kalian kalau mau sesuatu, ambil aja, nggak usah malu-malu."

Kak Raga mengangguk paham, sedangkan aku hanya tersenyum tipis ketika pucuk kepalaku diusap olehnya. Sejak aku kecil, Budhe Retno memang suka mengusap kepalaku. Aku tak keberatan. Justru aku menyukainya.

Kak Raga menarik tanganku menuju halaman belakang. Tidak seperti dugaanku, di sini rupanya lebih ramai dari ruang utama. Banyak orang yang tidak kukenal tengah berbincang seraya menikmati sejuknya taman mungil di sini.

"Raga, Vanya!"

Senyum Kak Raga seketika terlukis begitu seorang lelaki jangkung dengan balutan kemeja biru tua melambaikan tangan dari kejauhan. Melepas genggaman tanganku, tanpa pikir panjang Kak Raga berlari menghampiri sepasang kakak beradik yang tengah mengobrol itu.

Meninggalkanku di tengah lautan manusia ini.

Berdecak sebal, aku menghentakkan kaki melangkah menuju sebuah bangku di sudut taman. Duduk di sana, aku bersidekap dada menatap Kak Raga yang tengah tertawa bersama Kak Raras dan Kak Rega.

Aku mengepalkan kedua tanganku. Kak Raga terlihat lebih bahagia berada di antara Kak Raras dan Kak Rega jika dibandingkan bersamaku. Meskipun kami saudara kandung, Kak Raga tidak pernah menunjukkan ekspresi lepas seperti itu ketika bersamaku.

Dia tersenyum, tapi tidak selebar itu. Dia tertawa, tapi tidak selepas itu.

Aku menepuk kedua pipiku, berusaha menyadarkan diri sendiri. Tidak seperti saat kami kecil dulu, Kak Raga sekarang jarang bersemuka dengan Kak Rega, partnernya dalam membuat keributan, juga dengan Kak Raras yang menjadi tempat curhatnya.

Wajar jika dia begitu semangat menemui mereka.

"Dek."

Aku mendongak begitu merasakan seseorang menepuk bahuku. Aku sontak berdiri mendapati lelaki dengan setelan hitam-hitam di depanku, menatapnya terkejut.

SerendipityWhere stories live. Discover now