Sampai Jumpa Lagi, Anna

7 1 0
                                    

Halo.. karena aku lagi kurang mood buat puisi, kuposting ini sebagai gantinya. Diharapkan meninggalkan jejak berupa vote atau komen. Jejak kalian sangat berarti bagiku. Terima kasih.

Salam Syn.

***

"Ana," panggilnya.

Aku terdiam. Memasang telinga baik-baik.

"Ayo pergi bersamaku," lanjutnya.

Aku masih terdiam. Selain memasang telinga, aku juga membuka mata lebar-lebar.

"Ayo pergi denganku. Ke tempat di mana hanya ada aku dan kamu. Tempat di mana tak ada rasa sakit ataupun sedih yang bersarang di hati kita. Ayo ikut denganku." Dia kembali membujukku.

Mulutku membisu. Sungguh, itu adalah ajakan yang menggiurkan—sangat menggiurkan. Bagaimana tidak? Pergi dari tempat terkutuk ini? Aku akan melakukan apapun untuk melakukannya. Apapun itu.

Namun, dia siapa? Bagaimana bisa ada di sini?

"Ayo Anna," ajaknya lagi, "kamu maukan?"

Aku menatap dia tanpa bisa mengenali siapa dirinya. Aku tak pernah bertemu dengan orang lain selain Ayah, Ibu, dan adik laki-lakiku. Tak ada ingatanku tentangnya.

Aku menimbang ajakannya. Sangat menggiurkan. Namun, apa aku memang benar-benar mau? Pergi dari sini? Meninggalkan zona nyaman yang tak pernah diusik oleh siapapun?

Apa harus? Lalu..

Prangg.

Pecahan kaca yang membentur lantai itu membuatku menoleh pada pintu kamar yang masih tertup rapat. Mataku menatap tajam pada pintu coklat itu. Aku tak ingin kejadian itu terulang lagi. Aku tak ingin.

Prangg.

Dan pecahan itu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat. Tak lama kemudian suara teriakan saling bersahutan. Caci makian itu menggelgar di sepanjang rumah. Bahkan telingaku rasanya panas setiap kali mendengarnya.

"Anna."

Aku sempat melupakan kehadirannya. Kini, tatapanku terpaku pada sosoknya yang masih berdiri tegap tak jauh dari tempatku.

"Ayo ikut denganku," ajaknya lagi.

Suara cacian di luar sana tak meleburkan suaranya. Bahkan suaranya terdengar jernih di telingaku. Terdengar seperti merayu dan membujuk dalam satu waktu yang bersamaan.

"Apa yang kamu ragukan Anna?" tanyanya, "mereka?"

Tatapanya mengarah pada pintu coklat itu. Tak sampai lima detik lalu beralih kepadaku lagi.

"Mereka tak akan peduli padamu. Aku menebak, pasti mereka tak menyadari keberadaanmu saat ini, di sini," katanya.

Matanya menatapku intens. Terkesan tajam malah. Membuatku menggigil seketika.

Kalau aku ikut, apa semua akan baik-baik saja?

"Tentu saja." Dia bersuara lagi. Kali ini dia seperti menjawab pertanyaanku. Padahal aku yakin kalau aku menguatarakan pertanyaanku hanya dalam hati.

Jangan bilang dia bisa membaca pikiran?

Ahh, tidak mungkinkan. Di dunia ini tidak ada satu orangpun yang bisa membaca pikiran. Kalau membaca raut wajah, aku masih percaya.

"Mereka akan baik-baik saja Anna. Tak perlu mengkhawatirkan mereka. Jangan terlalu peduli pada mereka. Sekali saja, pedulilah pada dirimu sendiri. Tak perlu pada orang lain."

Aku tak tahu dia siapa. Tapi yang jelas dia mengajarkanku suatu hal bertolak belakang dengan masyarakat pada umumnya yang mengajarkan kita untuk saling bahu membahu. Aku tak tahu dia siapa. Tak mengenalnya malah.

"Kita tak perlu mengikuti standar masyarakat Anna. Tak ada gunanya. Kita hanya perlu mengikuti standar yang kita buat untuk diri kita sendiri," katanya lagi.

"Aku tak mau menjadi manusia yang egois." Untuk pertama kalinya sejak bertemu dengannya aku mengeluarkan suara.

"Tak ada manusia yang egois Anna. Tak ada. Jikapun ada—menurutmu, itu bukan berati dia memilih untuk berlaku seperti itu. Dia mempunyai pilihan yang menurutnya terbaik untuk dirinya sendiri," jawabnya.

Kembali, aku tak menyanggah perkatannya. Bahkan sama sekali aku tak pernah menyanggah setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Ada apa dengan dirimu Anna?

"Ayo Anna," kembali dia berujar frasa yang sama. Ajakan yang membuatku ingin mengiyakan namun di sisi lain aku ingin juga menolaknya.

"Tak ada yang salah untuk membuat hati kita kembali tenang. Apa kamu tidak bosan mendengar mereka saling berteriak satu sama lain seperti saat ini?" tanyanya retoris, "aku saja—yang baru lima belas menit di sini, sudah bosan mendengarnya."

Dan untuk pertama kalianya, aku melihatnya memutar kedua bola matanya dan memasang wajah bosan. Pertama kali aku melihatnya aku mendapati sosoknya memasang wajah yang sangat serius. Sampai membuatku berpikir, ada apa ini? Apa aku melakukan kesalahan?

"Anna," panggilan lirih itu membangunkanku, "apa yang harus aku lakukan agar kamu mau ikut denganku?"

Aku menimbang-nimbang. Dari mana kamu datang? Bagaimana kamu bisa masuk daerah teritoriku? Apa yang membuatmu menemuiku? Apa tujuanmu? Apa yang kamu inginkan dariku?

"Siapa namamu?"

Aku meilhat dia mentapku dengan kerut di dahinya. Seakan-akan mempertanyakan apa aku serius dengan pertanyaanku.

"Gab. Gabriel."

Jawaban singkat itu tak memuaskan rasa penasaranku. Masih banyak sekali pertanyaan yang bersarang di kepalaku saat ini. Namun, entah mengapa mulutku tak mau merealisasikannya menjadi sebuah kaliamat atau minimal frasalah. Aku hanya berdiam.

"Ayo ikut denganku Anna," katanya lagi dan lagi, "aku yang akan menjamin rasa sakitmu. Tak akan kubiarkan rasa sakit itu menyentuhmu atau bahkan mendekatimu lagi Anna. Tak akan pernah selama kamu tetap di sampingku."

Aku terenyuh. Tak pernah ada selama lima tahun terakhir yang berkata seperti itu padaku. Aku merasa terlindungi sekaligus nyaman dalam waktu yang bersamaan.

Brak.

Suara itu mengagetkanku.

Suara gebrakan kayu—aku tebak sebuah meja yang dilempar, membuatku tersadar bahwa aku masih berada di tempat yang aku sebut neraka ini. Dan cacian itu mulai memenuhi gendang telingaku lagi.

Tak ada kedamaian di sini Anna, hatiku berbisik, kamu jelas tahu itu. Tak akan pernah ada kedamaian di sini Anna.

Aku menatap Gabriel yang masih tetap di posisi awalnya. Aku tak pernah melihatnya beranjak sedikitpun dari sana.

"Ayo ikut denganku Anna," katanya lagi.

Gabriel mengulurkan tangan kanannya padaku. Telapak tangan yang dengan meilihatnya saja sudah membuat hatiku menghangat.

Tak pernah ada yang pernah mengulurkan tangan padaku sejak kejadian itu terjadi. Tak pernah sampai saat ini. Saat sosok yang baru kukenal mengulurkan tangannya padaku dengan sukarela.

"Apa yang membuatku menunggu Anna?"

Tidak ada, Gab.

"Apa yang memberatkan hatimu Anna?"

Tidak ada, Gab.

"Kalau begitu, ayo ikut denganku Anna."

Ya, dengan senang hati Gab.

Ketika telapak tangaku menyentuh untung jemarinya, tanpa membuang waktu Gabriel menarikku berdiri. Menggenggam telapak tanganku. Menariku mendekat padanya.

Tanpa aku menyadari, seujung silet yang tipis namun tajam menggores pergelangan tanganku.

Mata Gabriel memakuku. Tak membiarkanku berpaling. Dia menepati janjinya.

Membuatku tak sakit. Membuatku merasakan kedamian. Membuatku terhanyut akan sayup kelopak mata yang kian menggelap.

Masih dengan jelas kudengar Gabriel berkata padaku.

"Sampai jumpa lagi, Anna."

Tamat

Deklarasi KepengecutanWhere stories live. Discover now