01

5.7K 613 39
                                    

"Kami nggak mungkin menikah, Ma."

"Maksud kamu?!" Wiya melotot marah saat mendengar kalimat itu kembali dilontarkan putranya.
Nathan menarik napasnya panjang. "Ma, aku punya Cindy. Nggak mungkin aku—"

"Kamu harusnya ingat itu semalam."

"Itu kesalahan. Oke? Aku juga nggak mau semuanya begitu." Nathan lalu melirik Alisha yang masih diam di samping sang mama. Helaan napasnya kembali terasa berat. Ingatan akan apa yang dilakukannya pada perempuan itu membuat kepalanya terasa pening.

"Mama nggak mau kamu jadi laki-laki nggak bertanggung jawab, Than. Mama nggak—"

"Dia nggak hamil."

"Belum tahu." Wiya masih berkeras. Dengan nada yang sudah tajam.

Nathan berdecak kasar. Semua salahnya. Iya, Nathan tahu itu. Tapi, semua benar-benar di luar nalarnya. Nathan tidak pernah berpikir kalau mabuk pertamanya semalam akan menjadi petaka dalam kehidupan tenangnya. "Kamu yakin nggak mau bilang apa pun, Sha?" tanyanya. Ada nada tak suka yang sengaja diperdengarkan olehnya.

"Kamu mau nyalahin Alisha? Gitu?! Kenapa—"

"Tante." Alisha yang sejak tadi memilih diam, akhirnya bersuara pelan. Kepalanya menoleh bergantian menatap Nathan dan juga mama laki-laki itu. "It just .. happen. So, I will forget it. Nggak ada yang perlu diingat sama sekali."

Tanpa sadar, Nathan menatap Alisha dengan wajah takjub. Tak percaya. Apa ekspresi datar itu adalah benar-benar milik perempuan yang semalam sudah dipaksanya tanpa sadar? Mengapa tidak ada amarah, kesedihan, penyesalan atau ekspresi apa pun yang bisa menujukkan perasaan perempuan itu? Mengapa raut itu .. benar-benar tak bisa dibaca olehnya sama sekali?

Wiya menggeleng keras. "Enggak. Enggak, Sha. Kamu pikir Tante mau Nathan lepas dari tanggung jawab? Dia menghancurkan kamu!"

"My life is not only about virginity, Tante. I'm sure that I will be fine after this. I'm okay. You don't need to worry." Alisha memberi senyum. Sangat tipis. Sama sekali tak ada raut kemarahan di sana.

"Sha—"

"Saya harus kerja, Tante. Nanti saya hubungi Tante lagi." Alisha pamit, lalu bangkit berdiri untuk mengambil tasnya. Kemudian berlalu, setelah sekali lagi berpamitan.

Nathan yang sejak tadi diam, semakin tak bersuara saat mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan Alisha. Ada sudut hatinya yang bersorak berterima kasih karena Alisha bukan jenis perempuan yang suka mendramatisir keadaan. Tapi ada sudut lain dari hatinya yang bertanya-tanya mengapa perempuan itu bisa tetap tenang tanpa memperlihatkan emosi sedikit pun?

"Aduh!" Nathan memekik kesakitan saat botol plastik mendarat di kepalanya. "Mama! Sakit ini!" teriaknya. Lalu sontak terdiam saat menyadari mata mamanya sudah berair. Kakinya langsung bangkit berdiri. "Ma, aku—"

"Diam di sana." Wiya berujar dingin, sambil menghapus air matanya. Demi Tuhan! Wiya tak pernah menyangka kalau putranya bisa melakukan tindakan tak bermoral pada perempuan yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Wiya menjaga Alisha sepenuh hatinya. Terus memperlakukan Alisha seperti saat dirinya memperlakukan Dean dan Nathan. Tapi, justru putra keduanya inilah yang menghancurkan Alisha begitu saja. "Mama benar-benar kecewa, Nathan."

Sekali lagi, Nathan menarik napas panjang. Lalu kembali duduk di sofanya. "Ma, aku minta maaf. Aku mabuk. Sama sekali nggak sadar."

"Semalam, mama yang suruh dia ke sini. Minta tolong buat nganterin berkas presentasi kamu, soalnya mama harus nemenin Alia karena Dean tiba-tiba ada kerjaan." Wiya bercerita dengan nada serak. Rasa bersalah membuncah di dadanya. "Mama nggak pernah nyangka anak mama bisa mabuk, bahkan melakukan hal menjijikan seperti ini."

Here to Heart [Completed] ✔️Where stories live. Discover now