02

4.7K 545 21
                                    

Nathan masih menundukkan kepala sambil memegang tangan sang mama yang bebas dari infus. Raut wajahnya benar-benar kacau. Berantakan.

"Hari ini emang nggak ada jadwal visit atau operasi, Than?"

Kepala Nathan mendongak lalu menatap Alia yang sedang berjalan ke arahnya, dengan perut yang sudah membuncit. "Udah minta tolong digantiin, Kak. Gue ijin. Buat hari ini aja."

Alia mengangguk pelan. "Mama cuma capek kok itu. Bukan sakit apa-apa," jelasnya tanpa diminta. "Aku jadi merasa bersalah sebenernya. Mama pasti capek karena ngurusin aku."

Nada bersalah itu membuat Nathan menggeleng pelan, dengan tatapan yang sudah mengarah pada mamanya yang masih terlelap. "Enggak, Kak. Bukan. Mama justru seneng kok tiap lo ke rumah. Tenang aja. Nggak usah terlalu dipikirin. Asalkan lo sama bayinya sehat, kami seneng, kok."

Lalu Alia mengambil bangku untuk bisa ikut duduk di sebelah Nathan. Kemudian mengusap pelan kepala adik iparnya itu. "Habis berantem sama mama, ya?"

Nathan tersenyum kecut. Malu untuk mengiyakan.

"Mama itu, sayang banget sama kalian. Apalagi sama kamu. Tiap hari, pasti ada aja nama kamu yang disebut waktu kami lagi cerita-cerita." Alia bercerita dengan nada geli. "Aku nggak tahu kalian berantem karena apa. Tapi, waktu kemaren mama pulang dari apartemen kamu sambil nangis terus hari ini tiba-tiba pingsan, aku takut banget."

Genggaman tangan Nathan pada jemari sang mama semakin menguat.

"Untung nggak ada apa-apa," lanjut Alia, lalu menarik napas pelan. "Kalau kamu, emang lagi ada masalah sama mama .. jangan diomongin sambil marah-marah, ya. Orangtua itu, makin sensitif kalau umurnya makin jauh." Alia memberi senyum menenangkan. "Mama orang baik banget. Kalau lagi berantem sama Dean terus mulai mikir aneh-aneh, salah satu pertimbanganku pasti mama." Tiba-tiba, Alia terdiam. Mengunci bibirnya rapat-rapat karena menyadari sudah membicarakan sesuatu yang lebih sensitif.

"Kak."

"Iya?" Alia menggigit bibir bawahnya pelan.

"Gue tahu, ini bukan urusan gue." Nathan berujar pelan. "Gue bahkan udah sadar dari beberapa bulan yang lalu, cuma gue tahu nggak boleh ikut campur. Tapi, lo sama Bang Dean lagi nggak baik-baik aja. Iya, kan?"

Alia diam. Memilih tak menjawab. Karena nyatanya, begitulah yang memang sedang terjadi.

Entah untuk yang kesekian kalinya, Nathan menarik napas panjang. Kepalanya terasa sudah tidak cukup untuk menampung informasi tentang permasalahan keluarga abangnya. Tapi Nathan juga tak ingin bersikap apatis saat mengingat kembali kalau beberapa bulan ini, Dean memang terasa sedikit menjauh dari mereka semua.

"Lo bisa minta bantuan gue buat nonjok Bang Dean kalo dia macem-macem, Kak."

Alia tersenyum geli. "Iya, nanti kalau udah nggak tahan sama dia, aku minta tolong ke kamu aja."

Nathan tersenyum. "Harus sehat-sehat lo. Itu cucu pertama mama," perintahnya, tapi dengan nada yang lembut.

Tanpa sadar Alia mengangkat tangan untuk mengusap-usap perutnya. Iya, memang harus begitu. Alia sudah berjanji akan menjaga bayinya dengan sangat baik.

"Lo nggak mau gue anter balik dulu, Kak? Nanti gue yang lanjut jagain Mama."

Kepala Alia menggeleng. "Nggak apa-apa. Aku di sini aja. Nanti tunggu-"

"Gimana keadaan Mama?"

Nathan bisa melihat bagaimana tubuh Alia tiba-tiba menegang kaku hanya karena mendengar suara Dean yang baru saja masuk. Kepala Nathan menoleh ke belakang, dan melihat wajah lelah abangnya itu karena sepertinya dari bandara langsung ke rumah sakit. "Masih tidur. Tapi kata dokter cuma kecapekan aja," jawabnya, lalu bangkit berdiri. "Gue keluar bentar, ya. Jagain mama dulu, Bang."

Here to Heart [Completed] ✔️Where stories live. Discover now