05

9.6K 503 59
                                    

Berkali-kali merutuk pun, Nathan tahu tak ada yang bisa dilakukannya selain menerima perempuan di depannya ini untuk dijadikan istri. Nathan berusaha keras untuk tidak melimpahkan kekesalannya pada Alisha, karena sangat menyadari kalau kesalahan jelas ada padanya. Tapi rasanya hal sederhana itu tak bisa dilakukannya sama sekali. Ditambah Alisha selalu saja memasang wajah tanpa ekspresi. Seakan permasalahan mereka sama sekali tak mengganggu perempuan itu.

"Kamu mau tema pernikahan kayak apa?"

Alisha mendongak kecil, dari tablet yang ada di depannya. "Saya nggak ada gambaran apa pun."

Nathan menarik napas keras. "Kerjaan kamu WO, kan? Setidaknya, kamu pasti punya gambaran lebih banyak daripada saya."

"Gimana kalau saya serahkan semua ke kamu aja? Atau ke pegawai saya? Biar kita terima beres."

Mendengus tak percaya, Nathan berdecak kesal. "Alisha, kamu inget kan, siapa yang mau pernikahan ini terjadi?"

"Tante Wiya."

"Dan kamu yang bilang setuju," sergah Nathan cepat. Berusaha keras menahan geraman dalam nada bicaranya.

Alisha tak membalas. Tak mungkin menjelaskan alasan apa yang membuatnya menerima permintaan Tante Wiya. "Oke. Kita nggak perlu tema apa pun. Saya yakin kamu juga nggak mau ngundang banyak orang. Gitu pun dengan saya. Jadi—"

"Intinya?"

"Resepsi kecil-kecilan aja. Di rumah Tante Wiya saya rasa cukup. Cuma perlu sedikit dikasih hiasan pernikahan, pesan katering buat para tamu, terus—"

"Kamu .. sebenernya nggak mau nikah, kan?"

Kali ini, Alisha terdiam cukup lama. Walau raut wajahnya masih tetap normal, tapi Alisha tahu kalau tatapan menelisik yang diberikan Nathan adalah pertanda kalau laki-laki itu tak menyukai idenya.

"Kalau kamu emang nggak mau pernikahan ini terjadi, kamu cukup bilang ke saya. Urusan Mama, biar saya yang coba sekali lagi buat ngomong—"

"Kita akan tetap menikah."

Nathan menegakkan tubuhnya. Mengunci Alisha dengan tatapan serius miliknya. Dan anehnya, raut perempuan itu tetap sama. Tak merasa terusik sama sekali. "Saya ingin menikah sekali seumur hidup, Alisha. Dan saya jelas nggak mau menikah dengan perempuan yang nggak punya prinsip sama kayak saya."

"Saya bahkan nggak memikirkan perpisahan sama sekali."

"Jadi?"

Alisha mengedikkan bahunya singkat. "Saya nggak ngerti kenapa pembahasan kamu jadi ke arah perpisahan. Padahal dari awal, kita lagi ngomongin soal tema pernikahan."

"Karena kamu jelas kelihatan nggak tertarik sama pernikahan ini."

Sebelah alis Alisha terangkat. Walau ingin mengiyakan kalimat itu, tapi Alisha menahan diri karena tak ingin memperpanjang perdebatan mereka. Karena pada akhirnya, mereka harus tetap menikah. Seperti yang diinginkan Tante Wiya. "Waktu kita cuma satu setengah bulan sebelum saya pergi ke Bali buat mengurus pernikahan client saya di sana—"

"Maksud kamu, saya harus mengikuti jadwal kamu? Gitu?" Nathan mendengus, tak terima.

"Tante Wiya bahkan minta kita menikah sebulan lagi. What do you think? Kamu lebih suka itu? Saya nggak masalah, kok."

Baru kali ini Nathan merasa kesabarannya habis. Menghadapi berbagai macam orang menyebalkan di sekitarnya pun, Nathan selalu bisa menahan diri. Tapi entah mengapa baru beberapa menit melakukan percakapan dengan Alisha, sudah membuatnya memutuskan untuk menyerah. Bukan karena Alisha membalas setiap kalimatnya, tapi karena raut datar tanpa ekspresi yang perempuan itu tunjukkan sejak tadi. Demi Tuhan! Ini, pertama kalinya Nathan menyadari kalau berbicara hanya berdua dengan Alisha, bisa membuat kepalanya pusing.

Here to Heart [Completed] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang