03

4K 488 16
                                    

Nathan jelas sadar kalau dirinya tak berhak menjadi pihak yang mengeluarkan amarah. Hanya saja, saat tiba-tiba Alisha memutar keputusan dari menolak permintaan mamanya sampai akhirnya menerima begitu saja, benak Nathan jelas bertanya-tanya. Sejak kemarin malam, bekerja pun rasanya tak lagi bisa dilakukan Nathan karena pikirannya berkelana pada permasalahan akibat kesalahan bodohnya itu.

"Aku nggak bisa, Ma. Please. Jangan kayak gini. Aku udah minta maaf sama Alisha, dan dia kemarin bilang buat lupain semuanya," keluh Nathan dengan raut kusut. "Nggak mungkin aku—"

"Tapi semalam Alisha setuju, Than. Dia minta pertanggung-jawaban kamu."

"Demi Tuhan, Mama! Dia nggak hamil!"

"Tapi kamu merusak dia!"

Nathan terdiam. Napasnya tersengal karena tak bisa menyalurkan emosinya.

"Mama nggak akan bisa lepas dari rasa bersalah mama kalau kamu lari begitu aja setelah merusak dia, Than. Mama nggak akan pernah bisa melupakan kesalahan itu." Suara Wiya mulai bergetar.

"Aku udah sama Cindy, Ma. Aku nggak mau nyakitin dia." Nathan berujar lirih. Beriringan dengan tubuhnya yang luruh di atas kursi yang berada di samping ranjang rumah sakit.

Wiya menarik napas, lelah. "Pernikahan itu bukan cuma tentang kamu udah lama sama siapa, Than."

"Terus mama sekarang minta aku nikah dengan perempuan yang nggak pernah aku kenal sama sekali. Kalau pasangan yang udah lama aja bisa pisah, apalagi aku sama dia nanti." Nathan masih tak habis pikir dengan permintaan mamanya. Walau semua memang salahnya, tapi pasti ada cara lain selain menikahi Alisha.

"Kalau seandainya kamu nggak menikahi Alisha, bisa kamu hidup baik-baik aja setelah merusak dia? Kamu bikin dia jadi perempuan yang nggak utuh lagi."

"Keutuhan perempuan nggak ditentukan dengan selaput dara, Ma," balas Nathan cepat. Meskipun Nathan juga sangsi bisa hidup terus bersama Cindy, tanpa mengingat kesalahannya pada Alisha.

Wiya tersenyum sarkas. "Yakin kamu? Kalau seandainya sebelum sama kamu, pacar kamu dirusak oleh laki-laki lain, kamu akan baik-baik aja? Kamu nggak marah?"

"Kalau aku benar-benar cinta dia, aku nggak akan mempermasalahkan itu semua," jawab Nathan yakin. Walau sampai detik ini pun, Nathan jelas masih tak memahami istilah bernama cinta itu. Lalu Nathan menarik napas panjang. Tak ingin memperpanjang percakapan tentang hal itu. "Ma, kalau mama terus paksa aku nikah sama Alisha, aku akan menyakiti satu perempuan lagi. Mama mau aku makin jadi laki-laki brengsek?"

"Kamu akan jauh lebih brengsek kalau nggak bertanggung jawab, Than," desis Wiya.

Nathan memejamkan matanya kuat-kuat. Mamanya, memang sangat keras kepala. Selalu begitu. "Kalau kali ini aku nggak ikutin kemauan mama, mama bakal benci aku?"

Wiya menatap sang putra dengan nanar. "Mama mungkin nggak bisa memaafkan kamu. Selamanya."

Rahang Nathan mengetat. "Cuma karena Alisha, Ma?" tanyanya, dengan nada kecewa.

Kepala Wiya menggeleng. "Bukan karena Alisha. Tapi karena mama ternyata gagal mendidik anak mama untuk menjadi laki-laki yang bertanggung jawab."

Kali ini, Nathan terdiam. Tatapan sedih yang diberikan mamanya membuat Nathan kehilangan kata-kata. Nathan tahu betul kalau keluarganya sangat menjunjung tinggi moralitas agama. Tapi Nathan tak pernah menyangka akan berada pada keadaan ini. Pada pilihan yang membuatnya seakan berada di ujung tanduk.

Nathan berusaha menenangkan diri dengan menundukkan kepala. Menghindari tatapan sang mama. Berkali-kali menyesali kebodohannya ketila mematikan rasionalitas yang selama ini selalu dijunjungnya.

Seandainya saat itu Nathan memilih melampiaskan kekecewaannya dengan cara lain, mungkin saat membukakan pintu untuk Alisha, Nathan tak akan memaksa dan menganggap perempuan itu sebagai Cindy. Padahal ketika sadar pun, Nathan selalu menjaga diri untuk tidak menyentuh Cindy di luar batas. Tapi malam itu, akalnya memang benar-benar sudah tumpul.

Menarik napas panjang, Nathan mengangkat kepalanya menatap sang mama. "Jadi intinya, mama tetap maksa aku menikahi Alisha, kan?"

Wiya kembali menggelengkan kepala. Berusaha mengulas senyum tipis. "Mama nggak maksa. Tapi memang cuma itu satu-satunya cara yang bisa kamu lakukan sebagai tebusan dosa."

"Dan mama bikin aku punya dosa lain karena menyakiti Cindy dengan keputusan ini," balas Nathan, cepat.

Kali ini, Wiya terdiam beberapa saat. "Udah sejauh mana hubungan kamu sama Cindy, Than? Kamu tidur juga sama dia?"

"Mama." Suara Nathan sudah menggeram perlahan.

"Jawab."

Astaga! Nathan rasanya ingin sekali berteriak kesal. Tapi saat sadar bahwa perempuan di depannya ini adalah perempuan yang paling dicintainya, Nathan tahu bahwa itu tak mungkin untuk dilakukannya. "Enggak, Ma. Demi apa pun, aku sayang dia! Nggak mungkin aku lakuin itu sebelum kami nikah!"

Dalam hati, Wiya menarik napas lega. Karena percaya bahwa Nathan pasti akan selalu memegang nilai moral yang selalu diajarkannya selama ini. "Jadi, kamu tetap nggak akan bertanggung jawab?"

"Ma. Please." Nathan kembali memohon. Kali ini sudah menggenggam tangan milik sang mama.

Wiya menghela napas lelah. Dadanya kembali terasa sedih karena tak berhasil membujuk sang putra. "Ya udah. Nggak apa-apa. Mama akan berusaha terima keputusan kamu. Mungkin, memang selama ini mama sama papa udah gagal didik kalian berdua," ujarnya, sendu. "Mama sayang Alisha seperti mama sayang sama ketiga anak mama. Kalau seandainya Dinda masih hidup dan mengalami apa yang Alisha alami sekarang, mama yakin nggak akan bisa baik-baik aja."

Disinggung dengan nama sang adik, membuat Nathan mematung di tempatnya. Rasa bersalah kembali menghantamnya, karena Dinda kecelakaan saat sedang bersamanya. Di depan matanya. "Ma—"

Senyum Wiya pertanda kalau dirinya tak ingin lagi memperpanjang pembicaraan mereka. "Udah. Nggak apa-apa. Kamu balik kerja aja. Nanti mama minta Alisha yang temenin mama kalau dia udah pulang kerja."

Menelan ludahnya susah payah. Dengan menekan rasa kecewa yang menggebu, Nathan akhirnya mengambil keputusan besar dalam hidupnya. "Aku akan nikahin Alisha."

Gerakan Wiya yang sudah ingin berbaring, seketika terhenti.

"Mama nggak boleh sedih lagi. Nggak boleh banyak pikiran lagi. Biar semuanya jadi urusanku sama Alisha."

Karena Nathan tahu, mengecewakan sang mama tak akan bisa dilakukannya sekalipun begitu menyayangi Cindy. Mamanya mungkin benar, menilik bagaimana Nathan dibesarkan dengan moralitas tinggi, rasa bersalahnya pasti tak akan pernah surut sekalipun nantinya tetap menikmati hidup dengan perasaan cintanya pada sang pacar.

"Kamu .. serius?"

Nathan menarik napas panjang. "Iya," jawabnya. Lalu berusaha mengulas senyum, walaupun tak sampai ke matanya. "Mama tenang aja. Aku akan jadi laki-laki yang bertanggung jawab. Itu kesalahanku, dan aku akan pelan-pelan memperbaikinya."

Wiya tersenyum lebar. Tanpa sadar air matanya menitik haru. Untuk satu anak yang sedikit menghapus rasa kecewanya karena anaknya yang lain, Wiya memeluk dengan erat. "Mama .. cuma mau kamu jadi laki-laki baik, Than. Mama cuma mau kamu jadi laki-laki bertanggung jawab," isaknya.

Dalam kesakitan tiba-tiba yang dirasakannya, Nathan berusaha tersenyum sambil membalas pelukan sang mama. Walau perasaan lega karena kembali melihat senyum perempuan yang melahirkannya ini tetap tak bisa menghapus rasa sedihnya. Tapi Nathan juga tahu, kalau memang bertanggung jawab pada Alisha adalah keputusan terbaik untuknya saat ini. Karena kalaupun berusaha lupa, Nathan tahu itu tak akan benar-benar bisa dilakukannya setelah merebut apa yang bukan haknya.

#=#

13 Januari 2019

Here to Heart [Completed] ✔️Where stories live. Discover now