FABRI(ZIO) -18-

75 18 10
                                    

Bel pulang berbunyi. Seluruh siswa langsung membereskan alat tulis mereka dan segara pergi meninggalkan sekolah.

Beberapa siswa masih berdiam diri di kelas, ada yang bertugas piket dan ada pula yang sedang menunggu jemputan. Jani salah satunya. Gadis itu duduk termenung di tembok pembatas koridor.

Para siswa masih berlalu-lalang di depannya, beberapa di antara mereka ada yang mencuri pandang, ada pula yang tak peduli sama sekali.

Kelasnya sudah lumayan kosong, hanya tersisa beberapa orang. Kini, fokusnya sedang tertuju ke lapangan. Ada banyak siswa yang berkumpul di sana. Mereka adalah tim futsal sekolah.

Pikirannya terlempar pada kejadian beberapa jam lalu, di mana dirinya harus diskors. Jani tak bisa membayangkan bagaimana murka ayahnya yang sangat kejam itu. Ia tak ingin berdebat dengan pria berhati batu seperti ayahnya lagi. Rasa sakitnya selalu bertambah saat menatap mata tajam sang ayah.

"Gue harus gimana?" tanyanya sedikit frustrasi. Jani bahkan beberapa kali sudah mengacak rambutnya.

Gadis itu memejamkan matanya, berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk tentang dugaan-dugaan yang berpotensi besar akan terjadi. Jani bisa stres jika terlalu berpikir berat.

"Belum pulang?"

Pertanyaan itu sontak membuat mata Jani terbuka sempurna. Gadis itu menoleh ke arah sumber suara, menemukan Fabri yang sedang berdiri di sampingnya. Tangannya bertumpu pada pagar pembatas tembok, cowok itu melihat ke lapangan, beberapa siswa tengah melakukan pemanasan di sana.

"Lo belum pulang?" tanya Jani mengerutkan dahi.

Fabri menoleh, ia terkekeh pelan dan menggeleng. "Lo pikir gue hantu?"

Jani mengerjapkan mata beberapa kali. Gadis itu menggaruk atas alisnya, bingung. Ia tidak mengerti maksud dari ucapan Fabri. Memangnya ada yang lucu? Mengapa cowok itu tertawa?

"I can't understand. Maksud lo?"

Fabri hanya menggeleng. Cowok itu kini menghadapkan tubuh sepenuhnya ke arah Jani, ia tersenyum kecil, tangannya terulur untuk membenarkan rambut gadis itu. "Rambut lo berantakan, lain kali, ke sekolah itu nyisir dulu."

Jani mengubah raut wajahnya menjadi masam. Ia menepis tangan Fabri yang tengah mengaitkan rambutnya ke belakang telinga. "Lo pikir, Princess abis ngamen, huh? Gue juga nyisir kali!"

Fabri tertawa kembali. Cowok itu kemudian menatap Jani lekat-lekat, mata hitamnya menajam saat melihat ada sedikit gurat kesedihan yang ia temukan di sana.

Apa mungkin, Jani masih tidak rela dengan hukuman tadi? Atau, bisa saja ada hal lain yang membuat gadis itu sedih.

"Maaf."

Jani menaikkan sebelah alisnya sambil meneliti wajah tampan Fabri. Ya, benar, dirinya merasa ada seseorang yang memiliki wajah serupa dengan cowok itu. Yang membedakan hanya dua, warna mata dan warna rambut. Rambut Fabri berwarna coklat tua, khas orang Barat, sedangkan rambut cowok yang selalu ia ingat itu berwarna hitam pekat.

"Kenapa?"

Fabri tak mengucapkan apa pun. Mulutnya diam, namun pikirannya sudah berkelana ke mana-mana. Tak berselang lama, senyumnya kembali terbit, membuat Jani merasa bahwa cowok di depannya ini memiliki banyak kepribadian.

"Karena lo jadi ikut keseret masalah ini. Harusnya lo enggak perlu dis—"

"Ssttt!" potong Jani sambil tertawa kecil. Gadis itu mengibaskan tangannya di depan wajah Fabri, membuat cowok itu harus sedikit memundurkan tubuhnya.

"Enggak pa-pa, selow aja."

See, Jani terlihat baik-baik saja, atau lebih tepatnya berpura-pura baik-baik saja. Gadis itu sangat berbakat dalam berbohong, namun tetap saja, usahanya itu akan sia-sia di mata Fabri. Jangan lupakan jika daya analisis cowok itu kuat, jadi sebaik apa pun Jani menutupi lukanya, ia tak akan pernah bisa menyembunyikan itu dari Fabri.

FABRI(ZIO) [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang