FABRI(ZIO) -39-

82 21 26
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Hai! Maaf aku bikin head note gini, soalnya yaaa, biasanya kalo bikin note di akhir itu, jarang dibaca, huhuhu. (:

Well, cerita ini udah masuk ke penyelesaian konflik. Di part ini, jujur aku nulis susaaah banget, dan  buat temen-temen yang masih bingung sama ceritanya, di part ini bakal aku kupas tuntas, caelah wkwk. 😂

Bingung mau ngomong apa lagi, so, happy reading guys ~••~

***

Lonceng itu berdenting saat pintu kafe terbuka. Suaranya begitu menarik perhatian, apalagi seseorang yang kini tengah berjalan memasuki kafe dengan langkah tegap dan tatapan tajamnya.

Zio menarik sudut bibirnya saat matanya menemukan keberadaan Bakti di sana. Cowok itu terlihat gusar. Beberapa kali pula ia kedapatan mengubah posisi duduknya.

Kini hampir semua mata menatap Zio. Cowok itu sama sekali tak tertarik menjadi bahan pujian para wanita yang tengah sibuk membicarakan ketampanannya. Ia langsung menarik kursi saat dirinya telah sampai di hadapan Bakti.

Cowok itu mendongak. Memperhatikan gerak-gerik Zio dengan pandangan tak terbaca. Hingga cowok itu duduk, Bakti masih memfokuskan diri pada cowok di depannya itu.

"Kenapa?" tanya Zio seraya menatap Bakti tajam.

Terdengar helaan napas. Bakti membenarkan letak kacamatanya yang sudah sedikit melorot. Ia kemudian menautkan kedua jarinya. "Kemarin, Benni main ke rumah gue. Dia bilang mau kerja kelompok ke rumah Jani, tapi gue pikir, enggak ada tugas kelompok yang harus dikerjain minggu ini."

Rahang Zio mengeras. Cowok itu pun menggulung kemeja hijau lumutnya sebatas suku. Zio merasa gerah dengan topik bahasan cowok itu.

"Sebelumnya, dia emang udah sering main ke rumah gue. Kami temenan dari zaman SMP, kebetulan karena ibunya meninggal, dia suka ngerasa kesepian, jadi hobinya main." Bakti mengembuskan napas sesaat. "Ayahnya narapidana, dia bener-bener sendirian. Gue gak tega liat dia yang udah kayak orang hilang arah gitu."

Zio berpikir sebentar, cowok itu meneliti raut serius Bakti. Cowok dengan lensa minus di matanya itu mendadak menjadi orang yang banyak bicara saat memberitahukan hal yang selama ini tak pernah Zio duga itu.

Bakti menunduk, ia menyedot minuman yang berada di depannya.

"Gue gak pernah tau alasan dia sedikit jaga jarak sama gue. Yang gue tau, setelah kejadian itu, dia mulai bentangin jarak."

"Kejadian?"

Bakti mengangguk. Ia melepaskan kacamatanya, lalu menyimpannya di depan gelas minuman. "Setelah gue kecelakaan, mata kiri gue divonis minus dua. Sebenernya gue gak masalah gak pake kacamata, tapi Mama selalu marahin gue kalo tau gue lepas ini."

Bakti memakaikan kembali lensa berbatang itu. Sementara Zio menatap pelanggan lain yang mulai berdatangan memasuki kafe.

Cowok itu mengecek ponselnya. Sebuah notifikasi muncul. Surat elektronik yang berasal dari Pak Santoso memasuki halaman utama E-mail Zio.

"Dari kemarin malam, perasaan gue ud—"

"Bentar, Bak," potong Zio masih terus membaca pesan pribadi itu.

Bakti pun mengangguk. Cowok itu mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kalimat tertahannya. Ia pun memilih untuk memperhatikan gerak-gerik Zio, cowok itu tampak geram, namun di balik sorotnya, terdapat sedikit kebahagiaan yang bisa Bakti tangkap di sana.

Zio menahan napas sejenak. Ia kemudian bangkit dan merapikan setelan pakaian formalnya. Cowok itu hendak melangkahkan kaki sebelum Bakti berhasil menahannya.

FABRI(ZIO) [Completed]Where stories live. Discover now