13 - Perihal Rasa

19.6K 1.8K 125
                                    


🕊️🕊️🕊️

Setelah dua hari menginap di rumah Dharma, akhirnya Imran memutuskan untuk pulang bersama Lara dan Arini. Itu karena Arini yang terus mendesak Imran untuk pulang. Perempuan itu merasa tidak nyaman hidup serumah dengan keluarga Imran. Ia kesal karena setiap gerak-geriknya selalu menjadi sorotan.

Kini, di ruang keluarga, Lara mendapati Imran dan Arini yang tengah berduaan sambil menonton televisi. Arini begitu santai sambil bergelayut manja di samping Imran. Laki-laki itu sama sekali tidak merasa risih. Bahkan, sesekali mengecupi puncak kepala Arini dengan penuh kasih sayang.

Lara bimbang. Ia ingin mengambil ponselnya yang tertinggal di meja. Namun, ia takut menganggu kebersamaan mereka.

"Eh, Lara. Ngapain aja di kamar? Sini, dong. Ngobrol sama kita," tegur Arini dengan tangan yang tak lepas dari Imran. Perempuan itu sengaja memamerkan keromantisannya bersama Imran. Tak segan-segan, ia mencium pipi Imran tepat di hadapan Lara.

Lara membalas dengan senyum tenangnya. "Ah, em ... enggak apa-apa, Mbak. Lara kecapekan."

"Yah, padahal aku pengin kenal lebih dekat sama kamu," sahut Arini pura-pura sedih.

Lara hanya tersenyum, kemudian kembali melangkah masuk ke kamarnya. Jujur saja, ia jenuh. Biasanya, saat jenuh begini ia lebih suka di dapur. Membuat sesuatu yang sekiranya bisa dijadikan cemilan. Namun, ia masih merasa asing dengan keberadaan Arini di rumah. Hatinya selalu merasa sakit tiap kali melihat Imran yang begitu memanjakan Arini.

Sebuah ide terlintas di kepalanya. Ia bergegas mengambil slingbag-nya dan keluar dari kamar.

"Mas, aku mau ke rumah Bunda," izinnya.

"Eng—"

"Boleh dong, Ra. Ke rumah orang tua masa iya enggak boleh? Mau menginap pun enggak masalah kok. Iya kan, Sayang?"

Mau tak mau, Imran mengangguk. Sebenarnya, ia ingin melarangnya.

Lara melirik Imran yang hanya diam saja. Ia tersenyum singkat. Ya, sudahlah. Imran mana peduli padanya?

Suara klakson taksi mengalihkan pandangannya. "Ya, udah. Aku pamit, ya."
 
 

🕊️🕊️🕊️

 

Lara langsung mendaratkan bokongnya di samping sang ayah. Tubuhnya lemas karena kelelahan. Salahnya sendiri, ia keluar rumah bersamaan dengan jam pulang kerja. Tentu saja jalanan macet.

"Kok enggak sama Imran?"

Baru saja sampai, Lara sudah disambut dengan pertanyaan yang membuat mood-nya hilang. Sama Imran? Yang benar saja. Imran mana peduli dengannya? Jangankan mengantarnya, menjawab pertanyaan Lara saja laki-laki itu ogah-ogahan.

Ia tersenyum singkat seraya menyandarkan kepalanya pada bahu Santoso. "Mas Imran lagi sibuk, Bun," bohongnya.

Ayu mengangguk paham. Ia berdiri, berniat ke dapur untuk membuat minuman. Putrinya pasti sangat kelelahan.

Sedangkan Santoso, ia langsung menghentikan kegiatannya yang sedang membaca berita lewat koran. Ia merasa hatinya seperti tertusuk jarum saat menyadari putrinya yang baru saja berbohong.

"Putri kecil Ayah udah makan?"

Lara menggeleng. Ia mengerucutkan bibirnya kesal saat ayahnya masih saja memanggilnya dengan sebutan 'Putri Kecil'. "Lara udah besar, Ayah. Jangan panggil Lara Putri Kecil lagi," protesnya.

Luka & Lara (Completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora