Catatan Bulan di Musim Pancaroba

160 35 2
                                    

Bumi terasa berbeda hari ini.

.

Aku pikir, memergoki Bumi dan Bintang Kejora berduaan di Bromo, bergandengan tangan ditengah rasa menggigil yang membuat air mata bercucuran sudah sama parahnya dengan memergoki Bumi dan Bintang (lagi) di Pantai Kuta, bergandengan tangan ditengah badai pasir yang menyiksa mata, membuat tumpukan upil di rongga hidung, dan baju berkibar-kibar menyebalkan.

Tapi nyatanya, belum.

Masih ada lagi ternyata yang paling sial.

Itu terjadi ketika angkatan kami pulang dari Pantai Kuta dan bersiap makan malam di Jimbaran, tepat dipinggir pantai dengan lantunan melodi yang aduhay.

Itu terjadi ketika aku sangat-sangat kelaparan dan bersiap menunggu makanan datang!

Hujan turun malam itu.

Didetik pertama aku menyendok nasi ke piring dan menunggu hidangan lautku datang!

Aku mengumpati Semesta sepuas hati dalam hati. Memaki tanpa jeda sembari berlari menuju restoran dengan bakul nasi dalam pelukan.

"Konyol kamu, Bulan!" seru Bimasakti sembari menghampiriku, membantu membawa bakul sembari menarik lenganku ketika aku menyahutinya dalam hati.

Benar! Memang benar!

Tapi lebih konyol lagi adalah hujan itu yang berhenti begitu aku sampai diujung terjauh meja kami.


Tepat ketika sepasang mata tajam Revolusi Bumi, menatap aku setelah yang terakhir, terasa lama sekali.

"Bodoh kamu, Bulan." katanya, selirih angin.

Namun, dia nggak tahu.

Aku melihatnya Bumi.

Tertanda,

Bulan Arotasi

Disini Saja, Ada Aku ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang