Senandung Angkasa
.
.
.
"Mau minum?"Bima bertanya sembari membawakan secangkir teh manis hangat untuk gadis itu. Mereka kompak berada dibalik balkon, menonton langit malam yang terasa kosong setelah turun hujan dari tadi.
"Eh, kamu bikin buat aku?" Bulan bertanya, mengambil alih cangkir tersebut sebelum menyengir. "Terima kasih, Bima."
Bima mengangguk tenang. "Kamu minum aja dulu, Lan. Udaranya lagi dingin sekarang."
Bulan mengikuti Bima yang lebih dulu mendudukan diri di kursi panjang, menyesap teh hangatnya tanpa suara.
"Kenapa belum tidur?" tanya Bima dibalas senyum patah gadis itu. "Sudah. Tapi tadi terbangun, aku mimpi buruk."
Bulan menatap lurus ke depan, "Mimpi ditinggalkan orang yang aku sayang satu per satu. Mimpinya sangat menakutkan, jadi aku nggak kepingin tidur lagi."
"Itu menyebalkan, perasaan-perasaan itu menyebalkan. Mereka mengganggu aku, dan membiarkan semuanya terasa kacau." cerita Bulan pahit. Ia menatap Bima dengan kedua alis terangkat bertanya.
"Bagaimana caranya menghentikan mereka, Bima? Bagaimana caranya mengusir mereka dari kepala aku dan hati aku sekarang? Karena rasanya betul-betul memuakkan."
"Berdamai, Bulan." tutur Bima menenangkan. "Berdamai dengan pikiran kamu, hati kamu, masa lalu kamu, dan diri kamu."
"Tapi rasanya sulit." Bulan berujar. "Rasanya sulit memaafkan diri aku sendiri, Bima."
Ia menyesap tehnya sekali lagi. "Aku menyakiti orang-orang disekeliling aku. Seakan aku satu-satunya korban ketika mereka juga merasakan sakitnya. Aku... Selalu pura-pura nggak tahu sekalipun aku menyadarinya."
"Aku menyakiti Papa, aku menyakiti Mama, aku menyakiti Bumi, aku membuat Bintang dibenci, aku... Aku juga menyusahkan kamu, Bima."
Bima menatap sepasang matanya. Mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala temannya menenangkan.
"Kamu... Kamu cuma terlalu takut untuk mencoba, Bulan. Kamu terlalu takut ditinggalkan, dan kesepian." Bima tersenyum, ia menarik tangannya kembali sebelum meneruskan. "Kamu harus melihatnya dengan sisi yang berbeda sekarang."
"Kalau kamu takut ditinggalkan, kamu harus percaya selalu ada orang yang akan tetap tinggal sebanyak apapun kesalahan yang kamu lakukan. Ketika kamu sudah mencoba yang terbaik dan mencoba untuk memperbaikinya."
"Kalau kamu takut orang tua kamu kecewa dan nggak akan memaafkan kamu hanya karena sebuah mimpi, kamu harus percaya akan datang waktunya mereka memaafkan kamu dan mengakui dengan bangga usaha kamu ini."
"Kalau kamu takut Bumi pergi hanya karena orang yang dia sayangi menyelamatkan nyawa kamu hari itu, kamu harus percaya kalau dia butuh waktu untuk mengerti sebelum kembali lagi."
"Kalau kamu merasa semua nggak akan berhasil dan sia-sia, kamu harus yakin Tuhan selalu ada untuk menuntun kamu memperbaiki semuanya."
Bulan menggigit bagian dalam pipinya keras dan bertanya ragu.
"Apa aku benar-benar bisa, Bima?"
"Aku selalu mempercayai kamu, Lan. Tapi hanya itu yang aku bisa, selebihnya tergantung usaha kamu."
disini saja, ada aku
Bumi menghela napas ketika Papa datang menghampiri, dia baru mau bangkit berdiri. Namun Papa menahan bahunya agar diam. "Papa cuma mau bicara sebentar, Bum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Disini Saja, Ada Aku ✅
Teen Fiction[selesai] "Andai saja soal matematika semudah jatuh cinta. Maka bukan Bumi yang aku cintai, tapi buku jelek tak terurus disudut meja belajar!" Jatuh cinta Bulan sederhana: menatap Bumi dan meminta Tuhan mengabulkan agar mereka bisa bersama. Namun s...