Part 5

44.9K 830 54
                                    

Sebuah panggilan datang dari nomor tak dikenal saat Rania baru saja selesai mencucui pakaian. Tangannya masih basah sehingga ia berulang kali mengelap di dasternya yang pudar itu.

"Halo?"

"Raniaaa ...." Terdengar suara wanita dari ujung telpon. "Kamu kenapa resign gak bilang-bilang sih?"

"Mia? Oh, maaf—"

Belum juga kata-katanya selesai, Mia sudah langsung menyambar, "Aku gak mau tahu. Pokoknya kita harus ketemu. Kamu kok tega banget sih sama aku?"

"Ada apa sih?"

"Kangen banget," suara Mia terdengar manja. "Meet up yuk!"

"Hari ini aku sibuk, Sayang. Banyak pekerjaan di rumah."

"Suaramu lemas banget? Kamu sakit ya?"

"Nggak. Kurang tidur aja," Rania menjawab pelan sambil menyentuh keningnya yang terasa pusing. "Kita ketemu hari Minggu nanti gimana?"

"Oke, kujemput ya, Sayang. Ada banyak yang mau kuceritain ke kamu."

"See you!"

Rania kemudian duduk di atas kasur. Kepalanya terasa berat. Padahal makanan belum disiapkan, mungkin sebentar lagi Candra akan pulang.

Bulir-bulir keringat bercucuran di kening Rania. Kepalanya sakit dan perutnya seakan dipilin dengan keras. Sambil meremas perutnya sendiri, Rania tidur sambil meringkuk menahan sakit yang semakin menjadi-jadi.

Semakin Rania meringkukan tubuhnya, semakin lebih baik ia rasakan. Tangannya tidak perlu lagi meremas kuat-kuat otot perut. Tetapi semua seperti tak bertahan lama, ia harus meringkuk lebih kuat dan lebih kuat lagi. Bahkan kepalanya kini berada di lutut sambil terus mengerang kesakitan.

Gelombang rasa sakit itu tak lagi intens, namun datang dan pergi dengan ritme yang susah ditebak. Terkadang sakit sekali. Terkadang hanya terasa sekilas.

"Ngapain kamu?"

Suara Candra membuat Rania kaget dan mendongakkan wajahnya. Ia masih tak bisa menjawab karena gelombang rasa sakit itu seperti menghempasnya.

Beberapa kali ia mendengar Candra menyeletuk. Entah apa yang ia katakan, tetapi itu sudah biasa ia dengar. Lelaki itu mungkin sedang memakinya dan mengumpat.

"Kok belum masak?"

"Perutku sakit banget."

"Tapi kamu kan sekarang gak kerja, Rania. Kamu di rumah ngapain aja sih?" suara Candra meninggi.

"Tapi—"

"Gak ada tapi ini .... Tapi itu .... Bullshit! Dulu kamu punya alasan karena lagi kerja. Sekarang gak kerja lagi, kamu cari alasan sakit dan .... Agh! Aku bisa gila lama-lama, kalau kelakuanmu seperti ini tiap hari, Rania!"

Lelaki itu seakan tak mau menghiraukan Rania yang sedang terbaring lemas dengan wajah pucat. Ia malah mengganti pakaian dan beranjak untuk pergi.

"Awas aja kalau saat pulang nanti kamu masih tidur," ancam Candra sebelum membanting pintu dengan keras.

Tak lama berselang, bunyi knalpot sepeda motor, yang Rania kenali itu milik Candra, menderu keluar dari halaman rumah. Tanpa terasa air mata jatuh membasahi pipi.

Apa ini semua hukuman untuk dirinya?

Apa ia memang benar-benar tak layak menjadi seorang istri?

Apa ia masih punya banyak kekurangan yang tak bisa diampuni?

Satu demi satu pertanyaan menghantui kepalanya. Membuat rasa sakit semakin menjadi-jadi. Sebisa mungkin ia menahan, namun air mata masih saja jatuh.

Beberapa kali ia pejamkan mata, sesekali penglihatannya kabur. Lemari dan dinding di depannya seakan sedang bergerak mendekatinya. Kadang menjauh bahkan tampak buram. Sampai akhirnya ia tak sadarkan diri.

AFFAIR  21+ [selesai]Onde histórias criam vida. Descubra agora