Part 12

26.5K 827 18
                                    

Pikiran Bara dipenuhi dengan pertanyaan aneh. Sejak mereka tiba di apartemennya, Rania memilih untuk tidur, sementara dia sendiri duduk di depan TV seperti orang bodoh. Berulang kali ia mengganti saluran televisi namun semuanya terasa membosankan.

Meraih jaketnya, ia lalu keluar dan berjalan menuju salah satu minimarket. Semula, ia pikir bahwa membeli minuman dingin terasa lebih baik. Namun semakin lama ia berdiri di depan deretan minuman itu, ia akhirnya memutuskan untuk membeli enam kaleng bir.

Ketika ia berjalan menuju meja kasir, lelaki yang beridir di sana mengenalinya. Matanya melotot melihat tangan Bara yang memegang beberapa kaleng bir. "Wow! Apa kau kuat minum sebanyak itu?"

Bara tertawa sambil meletakannya di meja.

"Seorang teman mengunjungiku, rasanya tak elok bila tidak menyajikan sesuatu untuknya," kata Bara mencoba berbohong.

"Apa kau butuh 'jaket kulit' sebagai periasi?" tawar lelaki itu sambil menunjukan deretan kondom di sampingnya.

"Dia seorang pria," jawaban Bara dingin.

Dalam hatinya, ia ingin sekali mengutuk lelaki itu dengan berkata, "Dia sudah hamil. Apa gunanya menggunakan benda sialan itu?"

Setelah membayar semuanya, Bara keluar dengan langkah kaki yang enggan. Tanpa berpikir panjang, ia memilih duduk di salah satu bangku taman yang tak jauh dari lobby apartemen.

Membuka satu kaleng bir lalu meneguknya, rasa segar dan dingin mengalir di tenggorokannya. Pikirannya tentang Rania kembali menghantui.

Bagaimana jadinya bila Rania berbohong?

Apa itu benar anaknya?

Apa bila nanti lahir, ia harus melakukan tes DNA?

Pertanyaan demi pertanyaan bermain di kepalanya. Apa ia harus menikahi Rania setelah pegadilan memutuskan perceraian?

Meski sudah memaki jaket, nyamuk-nyamuk ternyata sangat liar malam ini. Berulang kali ia mengebas dengan tangannya namun hasilnya nihil.

Alhasil ia terpaksa berjalan masuk ke dalam. Hanya tersisah dua kaleng bir saja di dalam kantong. Matanya tertegun, bisa-bisanya ia menghabiskan empat kaleng dalam waktu yang sangat singkat.

Setelah membuka pintu apartemennya, matanya mendadak melotot. Rania tengah duduk di sofa. Meski tak menoleh, ada aura menakutkan yang ia rasakan.

"Kamu belum tidur?" tanya Bara dengan nada gusar. Ia meletakan kedua kaleng bir di atas meja dengan wajah penuh kesal.

"Entahlah, aku tak bisa nyenyak juga."

Melihat mata Rania melirik ke kaleng bir yang baru saja ia beli, Bara buru-buru menjelaskan, "Malam ini badanku kurang segar. Jadi kuputuskan untuk membeli dua kaleng ini."

Berbohong di depan wanita memang bukan keahliannya. Tetapi semoga Tuhan tidak membuat Rania murka.

"Tidurlah, akan tidak baik untuk kesehatanmu dan dia, jika kamu begadang seperti ini," Bara mencoba mengalihkan pembicaraan.

Beberapa saat kemudian bara sadar bahwa mengatakan 'dia' ternyata kedengaran sangat aneh di telinganya sendiri. 'Dia' yang di maksud adalah bayi mungil miliknya yang kini bersarang di rahim Rania.

"Bara," Rania coba membuka obrolan serius, "sepertinya tak pantas untukku bila terlalu lama tinggal di sini. Bagaimana pun juga, sekarang statusku masih istri Candra."

Kata-kata Rania barusan seakan menghantam tepat di dada Bara. Lelaki itu mendadak pucat dan wajahnya seakan dipenuhi kabut.

"Ya, aku tahu itu. Tapi—"

"Biar aku tinggal di tempat lain saja," potong Rania. "Sekalipun ini anakmu, apa kata orang-orang?"

"Apa kata orang? Kenapa kamu begitu peduli pada mereka?"

"Tidak, Bara." Sauara Rania mendadak menjadi tinggi. "Aku memang menjalin cinta secara sembunyi-sembunyi denganmu, tetapi jangan buat aku sehina itu."

Bara hanya diam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Roda pikirannya beroutar dengan kencang. Seburuk apapun, ia sangat mencintai Rania. Apalagi Rania sekarang mengandunga anaknya.

"Aku mengerti apa maksudmu. Bisa beri aku waktu untuk berpikir?"

Mendengar itu Rania menjadi kesal. Mengapa tidak Bara ungkapkan saja kata-katanya sehingga mereka bisa berdiskusi bersama? Atau ia hanya dianggap sebagai objek semata?

"Bagaimana jika kita membuat sebuah perjanjian?" tanya Bara memecah keheningan antara mereka berdua.

"Perjanjian?"

Bara mengangguk. "Kamu bisa mengoreksi bila kata-kataku salah."

"Perjanjian seperti apa?"

Bara buru-buru berjalan menuju meja kerjanya dan mengambil sebuah pulpen dan selembar kertas. Ia kemudian duduk dan menulis dengan eskpresi wajah serius.

Melihat itu, Rania seperti kebingungan. Sesaat kemudian Bara sudah selesai menulis dan menyerahkan lembaran kertas itu padanya.

'1. Hanya boleh meninggalkan apartemen ini dan tinggal di apartemen lain yang disewakanku.

2. Kita menikah setelah proses cerai selesai. Paling lambat setahun dari sekarang.'

Rania yang semula tegang mendadak tersenyum. Rasanya ia ingin tertawa dengan kekonyolan lelaki di depannya.

"Kenapa? Apa ada yang lucu?" tanya Bara dengan nada heran.

"Kalau hanya dua kalimat ini saja kenapa kamu mesti menulisnya?"

"Biar terlihat serius," Bara coba mengelak. Padahal ia sebenarnya terlalu bingung untuk mengatakan secara langsung. "Jadi?"

"Entahlah, akan kupikirkan. Kita akan bicara nanti setelah kau tidak dalam pengaruh alkohol."

Rania lalu bangkit dan pergi meninggalkannya begitu saja.

🍑🍑🍑🍑🍑

Silakan dicoba, Kakak!
VOTE
&
KOMENnya!
GRATIS KOK!!
🎀🎀🎀🎀🎀🎀

AFFAIR  21+ [selesai]Where stories live. Discover now