Sembilan

4K 365 18
                                    

"Ini berkas yang akan kita kerjain di pusat nanti. Kira-kira lo bisa cek lagi gak Ca? Gue udah pusing banget nyiapin materi meeting." Ucap Sarah dengan nada frustasi sambil duduk di samping meja kerja Eca.

"Ini materi buru-buru nggak sih? Kalo nggak terlalu mendesak gimana kalo di skip dulu aja?" Eca mencoba menego.

"Gila, ini materi utama. Makanya gue nyerah banget! Jangankan buat ngecek ulang, nyentuh berkasnya aja gue udah muak." Celetuk Sarah lalu menyenderkan kepalanya di kursi.

Eca terkekeh geli menatap keadaan teman sekantornya itu.

"Ya udah coba deh ntar gue bantu cek, tapi kalo urusan gue udah kelar ya!"

"Eca! Thanks banget...! Lo dewi penyelamat gue deh pokoknya."

"Lebay!" Eca melepas pelukan Sarah dengan segera.

"Ca, tuh handphone lo getar. Kayanya ada yang telfon masuk deh." Eca menoleh saat Ardi menunjuk ponsel yang ada di dekat komputer.

"Oh iya! Bentar-bentar gue angkat telfon dulu." Eca beranjak mengambil ponselnya.

'Aya? Tumben telfon.' Batin Eca.

"Kak Eca.." Sahut Aya, bahkan sebelum Eca menyapa.

"Aya, kamu tumben telfon. Ada apa?"

"Papa kak," Nada suara Aya terdengar berat.

"Papa kenapa Ya? Kamu nangis? Aya?"

"Papa jatuh kak, kepalanya keluar da-darah hiks.." Terdengar Aya menangis sesenggukan.

"Aya? Ka-kamu sekarang dimana?"

"Aku di rumah sakit kak, Mitra Sehat Sehati."

"Oke, kamu tunggu disitu. Kakak kesana sekarang." Eca mematikan sambungan telfonya secara sepihak.

"Ca ada apa??" Tanya Sarah dan Ardi bersamaan.

"Bokap gue masuk rumah sakit, gue ijin pulang duluan. Sori banget gak bisa ikut lembur hari ini."

"Ya udah Ca gak pa-pa. Lo perlu gue anter gak?" Tanya Ardi.

"Gak usah Di, gue bawa motor kok. Sar, ntar buatin surat ijin dan titip ke manager ya!" Ujar Eca saat menyadari jadwal pulang kantor masih dua jam lagi.

"Oke Ca, Siap!" Sarah mengangguk.

Setelah itu Eca keluar kantor dan melajukan motornya menuju rumah sakit yang Aya maksud.

_____________

Tiba di rumah sakit, Eca dengan langkah tergesa-gesa langsung menuju ruang UGD yang berada tidak jauh dari area parkir.

Eca mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, dan menemukan sosok sang adik yang menangis di pelukan Saka.

Tidak ingin terlalu lama terpaku pada tatapan yang sedikit mengejutkan hatinya. Dengan langkah kaku Eca mendekat ke arah keduanya.

"Ya..?" Baik Saka maupun Aya sama-sama menoleh saat mendengar panggilan Eca.

"Kak Eca!" Aya dan Saka kompak saling melepas pelukan.

"Papa dimana?" Tanya Eca dengan nada suara cemas.

Aya mengusap air matanya pelan,

"Papa masih di dalam kak, lagi diperiksa sama dokter."

"Kenapa bisa kaya gini?"

"Aya nggak tau kak, tadi pas Aya pulang dari nganter mama ke tempat Bu Sinta, papa udah tergeletak di lantai, pelipisnya keluar darah hiks.." Aya kembali menangis. Wajah Eca berubah pucat,

"Mama udah tau?" Aya sontak menggeleng.

"Aku nggak berani bilang ke mama kak, dia lagi repot banget ngurus pesanan. Tadi aku langsung minta bantuan kak Saka buat bawa papa kesini." Tatapan Eca beralih ke arah Saka yang juga menatapnya.

Ketiganya hanya saling diam beberapa saat, namun keheningan mereka terbuyarkan saat pintu ruangan UGD itu terbuka.

"Bagaimana keadaan papa saya Dok?" Tanya Eca yang segera beranjak dari kursi.

"Bapak baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Barangkali tadi beliau mencoba berdiri sendiri sehingga oleng dan jatuh ke lantai. Luka di pelipisnya juga tidak parah, hanya lecet." Eca menghela nafas lega.

"Saya sudah bisa menengok dok?" Sahut Aya.

"Silahkan," Aya masuk ke dalam ruangan sang papa.

"Mbak putrinya?" Tanya dokter ke arah Eca. Eca mengangguk mantab.

"Bisa ikut saya untuk menyelesaikan administrasi sebentar?"

"Bisa dok!" Eca menatap Saka sekilas, lalu mengikuti langkah dokter yang menangani sang papa sampai di ruangannya.

"Begini mbak, saya tidak tega mengatakan hal ini di depan adik anda. Karna dia terlihat sangat syok tadi. Jadi lebih baik ini didiskusikan di ruangan saya saja."

"Apa yang sebenarnya terjadi dok?" Raut wajah Eca berubah muram.

"Dampak dari jatuhnya pak Mahesa, menyebabkan kematian di beberapa saraf yang sudah sempat berfungsi normal setelah masa terapi kemarin." Jantung Eca mendadak nyeri.

"Jadi, terapi yang dilakukan dari beberapa bulan lalu sia-sia dok?" Air mata Eca tidak bisa ditahan.

"Untuk sementara waktu, kita harus melakukan perawatan intensif di rumah sakit lain yang memiliki peralatan medis lebih lengkap."

"Setidaknya, sampai kondisi pak Mahesa lebih baik. Karna efek dari jatuhnya tadi, membuat beliau merasakan trauma."

Satu hal yang ingin Eca lakukan saat ini adalah memberikan yang terbaik untuk sang papa, tapi dia tidak bisa menutup mata perkara biaya yang harus dikeluarkan.

"Saya akan merekomendasikan beberapa rumah sakit sekitar sini yang memiliki peralatan memadai, tapi dengan berat hati saya mengatakan, mungkin nanti ada hal-hal tambahan yang tidak bisa di klaim dengan kartu BPJS."

Aya menghela nafas berat, setelah itu dia hanya bisa mengangguk pasrah.

"Saya akan berusaha dok, yang terpenting kondisi papa saya segera pulih."

The Best Man Ever!Where stories live. Discover now