BERNUANSA LANGIT BIRU

619 66 4
                                    

Kenapa aku bisa cinta?

🍁🍁🍁


Sebuah sentuhan lembut menepuk pundak Dini.

"Jadi, masalahnya cinta 'toh?" tanya Arini dengan logat Jawanya yang khas.

Dini menyeka air matanya. Ia menarik napas dalam dan tersenyum pada Arini.

"Kalau cinta, ya, kejar. Jangan didiamin. Nanti sakit!" imbuh Arini.

"Dini baik kok, Mbak. Mbak Arini gak usah khawatir." ucap Dini tersenyum pada Arini. Ia melangkahkan kembali ke dalam toko.

"Jangan maksain hati buat bilang ndapapa, Dek. Itu kasihan, loh, hatinya disiksa terus." Seraya mengekori Dini, Arini terus mengingatkan.

"Dini sebenarnya mau. Hanya saja... "

"Apa?"

Keduanya sudah duduk di depan pintu masuk.

"Dini gak mau kuliah Dini keganggu sama urusan hati. Dini takut mengecewakan papa sama mama."

"Dek? Adek nyatain dulu sama dia. Bilang kalau Adek juga suka sama dia. Urusan pacaran atau tidaknya, Adek nda usah mikirin itu dulu. Yang penting, Adek nyatain aja dulu."

"Tapi gimana, ya, Mba? Dini malu."

"Tunggu dulu. Sebenarnya si cowok ini suka juga 'kan sama Adek? Atau bertepuk sebelah tangan? Setahu mbak, dia pernah pacaran 'kan sama dek Indah?"

"Jawab yang mana dulu, nih?"

"Semuanya."

"Oke. Pertama, dia suka sama Dini udah lama. Kedua, cinta Dini gak bertepuk sebelah tangan. Dan ketiga, iya. Dia pernah pacaran sama Indah."

"Sukanya sama Adek, tapi pacarannya sama dek Indah? Kok bisa?"

"Indah cuma pelarian. Karena Dini waktu itu pura-pura pacaran sama temen Dini. Soalnya Indah suka sama dia... Dan Dini gak mau Indah sedih."

"Ohh, nggeh. Jadi ceritanya, Adek rela nyakitin hati Adek, demi bahagiain dek Indah? Gitu?"

"Ya, kurang lebih seperti itu."

"Jadi sekarang gimana?"

"Baiknya gimana, Mba?"

"Ya, seperti tadi. Adek nyatain aja."

"Tapi Dini malu ngomongnya."

"Adek nda hidup di jaman batu, loh, Dek. 'Kan ada ponsel. Adek bisa sms kalau nda bisa ngomong di telpon. Baiknya secara langsung saja."

"Chat aja kali, Mba? Baiknya seperti itu." Dini melebarkan rahangnya.

"Monggo! Baiknya buat Adek saja."

"Ya, udah. Dini chat sekarang."

"Di sini?" Arini menautkan kedua alisnya.

"Iya. Di sini. Emang kenapa, Mba?"

"Takutnya Adek cengenges nda jelas di sini. Diliatin pelanggan, gimana?"

"Tenang aja. Dini orangnya gak suka baperan. Palingan... Bapernya cuma gembulin pipi doang." Dini memarken deretan giginya. Arini pun melakukan hal yang sama sebelum berlalu ke dapur.

"Mba masuk dulu. Ada pelanggan."

"Sekalian ama Dini satu cokelat hangat, Mba."

"Siap, Dek!"

Arini telah menghilang di balik pintu dapur. Tinggallah Dini dengan ponsel di tangannya. Dengan cepat ia mengetik sesuatu. Tak lama setelah ia mengirim pesan, Brylian datang dengan membawa seporsi siomay goreng.

ES dan BATU  (TELAH TERBIT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora