Chapter 2

975 37 1
                                    

Aku hempaskan badanku di sofa maroon yang disediakan untuk pembeli di tengah toko kain langgananku. Aku seruput air mineral yang terletak di meja, di sebelah sofa yang kududuki. AC tepat berada di depanku. Servis yang bagus, untuk pelanggan yang lelah berbelanja. Aku menyukainya. Karena itulah, aku lebih sering ke toko ini daripada toko lain.

Aku sedikit meregangkan badanku. Lelah berkeliling mencari kain yang pas untuk design yang aku buat. Hampir dua jam aku berkeliling toko kain ini. Dari lantai satu, naik, sampai ke lantai tiga. Berkeliling di lantai tiga. Kembali lagi ke lantai dua. Kembali berkeliling mencari kain brokat yang pas dengan seleraku. Setelah mendapatkan semua kain yang aku perlukan, barulah kuserahkan tugas selanjutnya pada Ednan. Dia sekarang mengurusnya di kasir.

Aku mengecek smartphoneku. Ada beberapa notifikasi. Ada dua DM di instagram. Mereka mengomentari instastoryku. Saat berada di kafe kemarin. Sebenarnya bukan aku yang mengambil snap itu. Ednanlah yang melakukannya. Ada tiga chat di whatsapp. Dua dari pelangganku. Satu dari grup WA. Grup designer yang akan show. Ada beberapa pemberitahuan dari panitia dan juga balasan dari beberapa orang teman. Salah satunya, Johan.

Entah mengapa, melihat nama itu, ada sesuatu yang menyesak di dadaku. Dan entah mengapa, aku malah membuka chatku dengannya. Aku membaca chat terakhirnya padaku. "kita tidak ada hubungan lagi sekarang!". Seketika, sesuatu makin terasa sesak di dada. Aku kembali menyeruput air mineral yang tadi belum aku habiskan.

"Damar"

Terdengar suara yang tak asing bagiku. Aku hafal sekali dengan suara ini. Aku mengalihkan pandanganku pada sumber suara itu, sambil memasang senyum sebaik mungkin.

"Ya," jawabku dengan tetap mempertahankan senyum di wajahku.

Baru saja aku membaca chat terakhirnya, sekarang orang itu berada tepat di depanku dengan senyumannya. Senyum yang pernah membuat aku jatuh hati padanya. Dia masih seperti dulu. Seperti terakhir kali bertemu. Lima bulan yang laku. Wajahnya putih, bersih. Sepertinya dia belum meninggalkan perawatan wajahnya yang tiap sebulan sekali. Tinggi. Gaya berpakaiannya pun masih sama. Casual. Celana levis ketat dengan kaos. Hampir selalu berwarna gelap. Kali ini dia menggunakan handbag berwarna coklat tua. Bukan handbag hitam dengan hiasan paku disekelilingnya, serta hiasan kepala tengkorak di tengahnya. Handbag yang pernah kubelikan.
" ah, mana mungkin dia masih mau menggunakan barang yang pernah kubelikan", pikirku.

Tapi, ada satu yg berbeda darinya. Aku kembali memperhatikannya. Ah,ada satu hal yang berbeda. Rambutnya. Dulu rambutnya biasa disisir berdiri. Kali ini dengan potongan undercut. Ranbut bagian atasnya dibiarkan panjang dan disisir kebelakang. Potongan yang selalu kuminta dia coba, saat kami bersama dulu. Tapi, tak pernah dia mencoba potongan itu.

"Hai, mar, " Dia membuyarkan lamunanku tentangnya.

"Hai, Johan, " jawabku sambil mencoba menenangkan pikiranku.

Dia duduk di sofa di sebelahku. "apa kabar?"

"Baik."

"Udah selesai cari kainnya?"

"Iya."

"Buat show september depan?"

"Yap." jawabku seadanya.

"Sudah lama banget ya kita gak ketemu. Berapa lama ya?"

"Satu tahun, " jawabku di dalam hati

"Yap, satu tahun, " ujarnya seakan-akan bisa membaca hatiku. "Padahal kita di satu kota loh, Mar. Tapi. Gak pernah ketemu. Kapan2 kita nongkrong lah," lanjutnya, seakan-akan tidak pernah ada masalah di antara kami berdua.

Muse: Design, Love & CatwalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang