Chapter 6

611 30 0
                                    

Mobil putih Johan berhenti tepat di depan butikku. Kulihat jam tanganku, telah lewat jam 9. Padahal aku cuma berencana satu jam saja untuk menemani Johan. Tapi nyatanya, lebih 3 jam aku menghabiskan waktu di cafe bersama Johan. Tentunya juga bersama Wira. Kami menghabiskan waktu bercerita apa saja. Mulai dari kegiatannya sebagai model sampai hidupnya yang tinggal sendiri di kota ini. Ya, semua keluarganya pindah ke tempat yang baru, hanya dia yang bertahan di rumah. Karena dia juga bekerja sebagai pegawai bank. Tak bisa dia tinggalkan. Pekerjaannya sebagai model, sekarang hanya untuk mengisi waktu luang dan menambah pendapatan katanya.

Dia juga bercerita kegiatannya sehari-hari yang cuma dihabiskan dengan ngegym. Hampir setiap hari, terkecuali ada urusan atau saat dia benar-benar lelah. Tentu saja ini yang membuat tubuhnya terbentuk sempurna. Dan dia juga bercerita tidak ada kegiatan lain yang bisa dia lakukan. Sesekali dia duduk di luar jika ada yang mengajaknya. Seperti saat itu. Saat dia datang bersama perempuan yang bernama Indah.

Tapi perbincanganku ini sepertinya malah membuat Johan tak nyaman. Dia tidak terlaku banyak bicara saat di cafe tadi. Sesekali dia bicara hal-hal yang terlihat bagiku seperti orang jutek. Dan saat diperjalanan pulang, dia malah banyak bertanya tentang perasaanku pada Wira.

"Kamu menyukainya?"

"Dia tampan, kamu pasti menyukainya."

"Tubuhnya sempurna."

"Apa kamu tertarik dengannya."

"Untuk apa dia meminta nomor handphonemu?" Ini pertanyaan konyol saat dia tahu, Wira meminta nomor handphoneku.

Sampai di depan butik, aku tak langsung turun. Kutunggu apakah dia masih memiliki pertanyaan lain. Tapi dia hanya diam.

"Kamu tak memiliki pertanyaan lagi?"

Dia diam, tak menjawab.

Kulihat pintu butik sudah ditutup. Berarti Ednan berada di atas, mungkin bersama Yuri. Butikku tutup setiap jam 9 malam. Kulihat kembali Johan yang masih saja diam.

"Kini aku yang bertanya." Ujarku pada Johan yang masih diam. "Kau cemburu?"

Johan langsung mengalihkan pandangannya padaku. Mataku dan matanya saling bersitatap. Tak lama, dia menarik tengkukku dan langsung melumat bibirku. Ciuman yang setahun ini tak lagi pernah ku rasakan. Bibirnya manis. Seperti pernah kubilang, sehabis merokok, bibirnya terasa manis. Dia terus melumat bibirku. Kini ciumannya semakin bergairah. Lidahnya mulai bermain di mulutku. Mulai menjilati langit2 mulutku.

Tangannya pun tak luput bermain. Dia terus meraba tubuhku. Tangannya kini masuk ke dalam bajuku. Entah kapan dia membuka kancing kemeja yang ku pakai. Kini dia mulai turun ke leherku. Dia mengecup setiap jengkal leherku. Ku pikir dia membuat tanda merah disana. Dia naik menjilati telingaku. Dia bermain-main di daerah sana. Dia masih ingat, bagian mana yg membuatku makin terangsang. Aku mendesah sejadi-jadinya. Permainannya masih sama seperti setahun lalu. Dia masih ingat cara memperlakukanku.

Dia kembali melumat bibirku. Tangannya hendak membuka celanaku dan saat itu pula tanpa sadar aku menitikkan air mata. Johan menyadarinya. Dia menghentikan kegiatannya ditubuhku. Dia memundurkan badannya, tapi tangannya tetap memegang bahuku.

"Ada apa?" Tanyanya khawatir melihat aku yang tiba-tiba menangis.

Tangannya kini beralih ke pipiku. Kedua tangannya mendekap pipiku. Dia terus bertanya ada apa. Aku menurunkan tangannya. Kukancingkan lagi bajuku. Kuperbaiki lagi penampilanku. Ku perbaiki juga tatanan rambutku. Aku tak ingin terlihat acak-acakan saat turun dari mobil. Apalagi jika Ednan melihatnya. Aku hapus air mataku. Aku menarik nafas dalam, dan membuangnya perlahan. Johan kembali bertanya ada apa denganku.

"Ini tidak benar Johan. Tidak benar. Kita sudah tidak punya hubungan lagi. Aku sudah melupakanmu."

Aku membuka pintu mobil hendak keluar. Dan sepertinya Johan juga ingin keluar. Sepertinya dia ingin mengikutiku. Namun, aku langsung menahannya.

"Tetap di mobil, Johan. Pulanglah. Aku tak tahu apa yang mesti aku lakukan. Seperti dipermainkan bagiku. Aku sudah melupakanmu."

"Tapi, Dam..."

"Pulanglah. Aku belum ingin bertemu denganmu lagi." Ucapku tegas.
Aku tutup pintu mobil. Cukup lama, akhirnya Johan melajukan mobilnya. Aku mencoba membuka pintu butik. Aku, Ednan, dan Yuri masing-masing memiliki kunci butik. Saat aku hendak membuka pintu, seseorang mengagetkanku.

"Bang"

Aku langsung berbalik badan. Ednan telah berdiri dibelakangku.

"Darimana lu?"

"Nyari makan." Jawabnya sambil mengangkat sebuah bungkusan berisi makanan kepadaku.

Tapi aku merasa ada yang sesuatu yang mesti aku tanyakan. "Sejak kapan lu ada di luar?"

"Sedari tadi."

Aku mengerenyutkan dahiku. Menunggu jawaban pasti dari Ednan. Aku tak puas dengan jawabannya. Dan sepertinya, dia paham maksudku.

"Gw ngeliatnya. Ngeliat semuanya."

Gw menarik nafas dalam dan menghembuskannya secara kasar.

"Tapi apa yang terjadi? Kenapa lu tiba-tiba berhenti. Gw pikir, tadi gw bakalan nonton bokep secara live. Dan, kenapa lu tiba-tiba nangis?"

Aku diam tak menjawabnya. Aku berjalan menuju lantai atas. "Dasar bocah, gak seharusnya lu liatin orang yang sedang bercumbu. Tak punya adab," bathinku.

Ednan terus bertanya kenapa aku tiba-tiba menangis. Aku tak mau membahasnya. Aku tetap tak menjawab. Tapi, Ednan, seperti yang kubilang, sikapnya masih anak-anak. Dia tak berhenti sebelum menjawab.

"Gw tak ingin membahasnya, Ednan. Dan gw mohon jangan bicarakan ini kepada yang lain. Termasuk Yuri." nadaku memelas kepadanya.

Dia mengangguk paham. "Tapi, bagaimana lu akan menutupi tanda merah di leher lu itu?" Tanya Ednan dilanjutkan dengan tawa kecilnya.

Dia berlalu ke dapur. Mengambil piring dan sendok. Dia akan makan makanan yang baru saja dibelinya. Sedangkan aku beranjak ke kamar.

Kubuka baju serta celanaku. Menyisakan celana dalamku saja. Aku sudah terbiasa tidur seperti ini. Ednan pun sudah terbiasa jika melihatku tidur begini. Awal bersamaku, dia risik tidur bersamaku yang nyaris telanjang. Tapi kini, dia sudah terbiasa. Bahkan, sekarang dia juga tidur seperti itu.

Aku beranjak ke kamar mandi. Kulihat di kaca. Benar ada tanda merah. Ini sangat ketara terlihat. "Ah sial!" Umpatku di dalam hati. Ku cuci mukaku dan beranjak dari kamar mandi.

Aku rebahkan tubuhku di atas kasur. Aku masih memikirkan kejadian di atas mobil tadi. Bagaimana bisa aku melakukan itu. Bagaimana bisa aku membalas ciuman dari Johan. Aku bersusah payah untuk melupakannya setahun ini, dan dengan mudahnya aku jatuh dalam peluknya lagi. Aku benar-benar bodoh. Dan Johan benar-benar kurang ajar, umpatku. Bagaimana bisa dia mencampakkanku dan setahun sesudahnya datang lagi dan melakukan ini. Seperti tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Apa dia pikir aku barang murahan yang bisa dia buang dan ambil lagi jika menginginkannya.

Tapi, apa benar aku sudah melupakannya. Apa benar aku tak ingin lagi bersamanya. Di satu sisi hatiku masih merasakan sakit bagai dililit, mengingat apa yang dia lakukan. Tapi di sisi lain, aku malah membayangkan semua kenangan indah bersamanya. Bahkan setelah ciuman itu. Apa benar aku sudah melupakannya. Air mataku tiba-tiba kembali meleleh tanpa kusadari.

Ting. Tiba-tiba smartphoneku berbunyi. Sebuah pesan telah masuk. Aku membuka chat itu. Sebuah nomor baru. Namun chatnya membuatku tersenyum.

Hai, Dam. Ini aku, Wira.

Muse: Design, Love & CatwalkWhere stories live. Discover now