Chapter 3

759 30 2
                                    

Hampir sebulan semenjak bertemu dengan Johan di toko textile. Chat terakhir Johan pun masih kuabaikan. Aku benar-benar berusaha keras melupakan Johan, meski teramat sulit. Aku terus menyibukkan diriku dengan pekerjaan dan persiapan show. Pertanyaan Johan tentang pacar baru pun, aku coba lupakan. Meski aku teramat penasaran.

Ting! Smartphoneku berdering. Sebuah chat masuk ke Whatsapp ku. Aku tak menggubris smartphone yang kutaruh di atas meja, tempat aku biasa merancang disainku. Aku terus melanjutkan memasang aplikasi embroidery pada gaun pink yang sedang kukerjakan.

Berselang beberapa menit, smartphoneku berdering lagi. Aku masih tak mengubris smartphone yg terus berdering. Aku tetap fokus dengan pekerjaanku.

Selang beberapa menit lagi, smartphoneku kembali berdering. Tapi tak hanya sekali. Lima kali berturut-turut. Tapi, seperti tak ada sesuatu, aku tetap diam. Aku terlalu malas untuk melihat isi chat yang masuk.

"Bang." terdengar suara Yuri. Salah seorang karyawan di butikku, yang bertugas dibagian menghias. Yuri sedang mengerjakan baju yang sama denganku. Dia duduk dibawah, mengerjakan hiasan pada bagian bawah gaun.

Aku melirik kepada Yuri. Menaikan alisku. Seolah menjawab "ya". Itu kebiasaanku. Aku sering memainkan alisnya atau hanya menjawab dengan senyum jika sedang malas bicara. Entahlah, tapi aku selalu mengatakan bahwa ada saat diriku berada pada zona "malas bicara".

"Baca dulu chatnya bang. Dari tadi bunyi terus. Siapa tahu penting."

Aku hanya tersenyum dan menjawab dengan berbisik "biarin". Saking kecilnya suaraku, Yuri mungkin tak mendengar suaraku. Yuri mungkin hanya membaca gerak bibirku. Bagi Yuri, ini bukanlah hal yang baru baginya. Dia bekerja hampir sama waktunya dengan Ednan. Dua bulan setelah Ednan bekerja padaku, Yuri datang untuk melamar kerja. Jadi, sedikit banyaknya, dia sudah paham dengan tabiatku.

Yuri, juga menjadi orang yg kupercaya setelah Ednan. Dia yang menjadi asistenku di butik. Dia mengelola butik jika aku sedang tidak ditempat. Sedangkan Ednan, dia hampir selalu ikut, kemanapun aku pergi. Tak jauh beda dengan Ednan, dia tipe pekerja keras. Dia bisa diandalkan untuk menyelesaikan setiap design yang kubuat. Hanya saja, kupikir dia lebih dewasa dibanding Ednan. Meski mereka seumuran.

Setengah jam setelah dering chat terakhir, smartphoneku kembali berdering. Kali ini terdengar lagu Crush dari David Archuleta. Kali ini berarti bukan lagi chat. Ada yang menelepon.

Aku tidak lagi diam. Aku menaruh jarum tangan yang sedari tadi kugunakan pada bantalan jarum yang digelangkan pada pergelangan tangan kiriku. Aku beranjak ke meja. Johan, nama itu tertera di smartphoneku. Aku tidak mengangkatnya. Aku kembali menaruh smartphoneku ke atas meja. "Kenapa dia menelponku?" bathinku.

Tak lama berselang, smartphoneku kembali berdering dengan nada dering yang sama. Kali ini, aku kembali diam. Dia biarkan smartphoneku terus berdering

"Bang," terdengat suara Yuri kembali.

Seperti sebelumnya, Yuri hanya mendapat jawaban dari alisku.

"Angkat dong bang. Siapa tahu penting, bang."

Aku hanya tersenyum. Tak menjawab. Lagi, smartphoneku berdering lagi.

"Kalau gak mau angkat, ya udah, dibikin diem aja bang. Berisik".

"Tolongin." Seperti tadi, Yuri mungkin hanya membaca gerak bibirku.

Yuri mengambil smartphoneku di atas meja. Dia membuka kuncinya. Hanya ada dua orang yang tau kunci smartphoneku. Ednan dan Yuri. Seperti yang kubilang, mereka berdua orang yang kupercaya.

Saat berada di tangan Yuri, smartphoneku kembali berdering.

"Johan?" Nada suara Yuri terdengar seperti orang bingung.

Muse: Design, Love & CatwalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang