Chapter 5

674 34 2
                                    

Setelah hampir tiga jam, akhirnya technical meeting pun selesai. Aku keluar ruangan dan menelpon Ednan. Aku meminta dia menjemputku. Dua kali aku menelponnya, tidak diangkat. Untuk ketiga kalinya, barulah dia mengangkat telponku.

"Darimana aja lu?'

"Gw di kamar mandi, bang."

"Jemput gw. Lu tau tempatnya kan?"

"Aku yang akan antar." Tiba-tiba suara Jonan memutus pembicaraanku dengan Ednan.

"Gak usah. Aku bisa dijemput Ednan."

"Ayolah Damar. Kamu kan udah janji."

"Janji apa?"

"Nongkrong."

"Hmm. Lain kali aja ya, Jo." Aku kembali berbicara dengab Ednan"Ed, jemp.."

"Udah, sama bang Johan aja." Belum sempat aku bicara, Ednan sudah memotongnya
.
"Tapi Ed..."

"Udahlah Damar, bareng aku aja." Kali ini Johan yang memotong pembicaraanku sambil mengenggam tanganku dan menariknya ke parkiran.

Ednan mematikan telponnya. Aku tak paham kenapa Ednan bersikap begini. Apa dia ingin aku bersama Johan kembali. Tapi yg pasti, anak itu, mesti mendapatkan pelajaran. Pertama, dia yang membuatku bersama Johan ketika pergi. Sekarang dia juga punya andil yang menbuatku kembali bersama Johan.

Lagi, aku menaiki mobil Johan. Kali ini aku harus fokus untuk tidak memikirkan masa lalu bersama Johan. Entah kenapa, saat bersamanya, aku selalu mikirkan masa lalu. Aku tak boleh lagi melihat wajah Johan. Tak boleh meski apapun. Aku memandang keluar. Terus memandang keluar. Tapi, saat mobil Johan keluar dari parkiran, aku melihat pria yg kulihat di cafe. Pria manis itu. Wira.
Dia sangat manis dengan celana levis hitam yang pas di kakinya. Menurutku itu seksi. Dan dia menggunakan kaos putih yang pas dibadannya. Cenderung membentuk tubuhnya, menurutku. Dadanya terlalu pas di baju. Atau mungkin dia sedang menggunakan baju yang kekecilan, pikirku. Aku terkekeh memikirkan itu.

Aku masih saja tersenyum, memikirkan betapa manisnya pria itu. Jambangnya rapi, membuat wajahnya sangat tampan menurutku. Tapi suara Johan, untuk kesekian kalinya mengejutkanku.

"Apa yang membuatmu tersenyum? Pria tadi?"

"Ah, kenapa dia selalu bisa membaca pikiranku?" Ucapku di dalam hati.

"Kenapa?"

Aku hanya menggeleng dan malah menatap Johan sambil tersenyum.

"Aku benar-benar tak rela senyum itu untuk orang lain, itu hanya untukku," gumam Johan.

"Apa?" Tanyaku. Aku mendengar apa yang digumamkan Johan. Aku hanya memastikannya.

"Tidak ada apa-apa," jawab Johan santai.

Tapi, aku benar-benar mendengarnya. Aku merasa dia masih mencintaiku. Tapi kenapa dulu dia mencampakkanku tanpa alasan yang jelas. Dan akupun sebenarnya merasa bersalah, karena tidak mencoba mempertahankan hubungan. Aku hanya menerima keinginannya untuk menyelesaikan hubungan. Dan kini, dia tiba-tiba datang lagi untuk mengungkit memori. Di saat aku benar-benar mencoba untuk lupa semua itu.

"Kamu masih sering ke chill and talk? Cafe favoritmu itu?" Tanya Johan mengacaukan lamunanku.

"Masih. Kenapa?"

"Kita kesana. Sudah lama aku tak ke sana. Semenjak kita tak ada hubungan lagi."

Aku hanya mengangguk.

Mobil terus melaju dan berhenti di sebuah cafe kecil tapi terlihat sangat nyaman. Cafe ini terbagi dua. Bagian luar, bagi mereka yang ingin mengopi sambil merokok. Dan bagian dalam yang berAC. Dibatasi dengan sekat kaca. Aku suka duduk dibagian dalam. Aku tidak merokok. Duduk di dekat kaca besar, sambil melihat-lihat keadaan di luar. Beda dengan Johan. Dia lebih suka di luar. Dia bisa bebas merokok. Dulu, saat kami masih sering ke sini, aku selalu memaksa Johan untuk duduk di dalam menemaniku. Dia merengut jika ku ajak di dalam. Kebebasannya untuk merokok sambil mengopi terganggu. Tapi, dia selalu nenyerah untukku. Dia akan membetahkan diri di dalam.

Muse: Design, Love & CatwalkWhere stories live. Discover now