1. Rasa takut

46 3 1
                                    

Palembang, 17 November 2019

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.

Palembang, 17 November 2019. Pukul 02.34

Seorang gadis duduk meringkuk dengan kepala tertunduk, tangannya tak lepas menutup telinga, tangannya gemetar namun bukan karena dinginnya suhu ruang. Sekitarnya gelap gulita, gadis itu bersembunyi dalam lemari. Perlahan terdengar langka kaki "tap, tap, tap". Tubuh gadis itu kian meringkuk ketakutan. Gaun tidur putih yang dikenakannya basah oleh keringat.

Suara langkah kaki itu kian mendekat, dalam hati gadis itu memanggil nama "Bunda!, Appa! Tolong aku! Kumohon tolong aku!" namun langkah kaki itu tak kunjung menjauh.

"Tap, tap, tap" Kaki itu kian mendekat.

Gadis itu ingat janjinya pada bundanya "Kau harus hidup! Hidup dan berbahagialah!" Janji sekaligus kenangan terakhirnya bersama sang bunda. Gadis itu berdiri, dengan perasaan gugup dia bersiap dibalik pintu lemari.

Langkah kaki itu kian mendekat, suara langkah kakinya kian bergema ditelinga si gadis. Dari sela-sela lemari, gadis itu dapat melihat sebuah tangan terulur menggenggam handel pintu. Gadis itu bertekad dalam hati "saat dia membuka pintu, aku akan lari sekuat tenaga keluar". Gadis itu kian fokus menatap tangan di handel pintu, namun tangan itu tak kunjung bergerak. Gadis itu mengalihkan perhatiannya. Betapa terkejutnya gadis itu, matanya bertemu dengan sepasang mata coklat yang mengintip dari balik celah lemari dan tersenyum menatapnya. Lalu sepasang tangan menariknya.

"Aaaaaaaaaaa!" Teriak gadis itu diiringi dengan terbangunnya dia dari mimpi buruk itu. Napasnya beradu seakan limit paru-parunya sudah sampai ambang batas. Disampingnya terduduk gadis berpiama warna hijau, Asha Putri Merdiana. Asha menggenggam tangan gadis itu. Mata coklat tua Asha tak lepas memperhatikan gadis itu dengan tatapan cemas.

Gadis itu terdiam lega melihat Asha yang menggenggam tangannya, namun rasa takutnya masih menjalar ke seluruh tubuh. Asha menatap gadis itu khawatir, gadis itu terlihat pucat, keringat mengalir deras dan tubuhnya bergetar. Namun yang paling membuat Asha tak kuasa adalah mata gadis itu yang penuh ketakutan.

Ditariknya gadis itu dalam pelukannya. Tak ada balasan, gadis itu masih terdiam mematung. Asha tepuk-tepuk punggung gadis itu menenangkannya. "Tidak apa, Na. Aku ada disini. Jangan khawatir!"

Gadis itu bergetar, air matanya tumpah. Ia menangis sejadi-jadinya. Asha tetap dengan setia menepuk-nepuk punggung gadis itu, Maina Zulfa Adinata. Sahabat sekaligus rekan kerjanya selama 10 tahun belakangan ini.

***

Palembang, 17 November 2019. Pukul 10.33

Maina menyantap sereal di depannya dengan lahap. Begitu bangun hal pertama yang dicarinya adalah makanan, ia kelaparan. Ia bangun kesiangan hari ini, tidurnya lelap setelah menangis kencang semalam. Ia bahkan belum membasuh mukanya, wajahnya yang putih bermata bulat itu bengkak memerah dengan rambut yang berantakan.

Asha yang duduk didepannya hanya bisa menatap sobatnya menganga. "Kau habis berperang?" tanya Asha.

Maina hanya melirik Asha sekilas. Asha tampak rapi dengan pakaian bergaya formal. "Kau mau pergi?" Tanya Maina masih dengan lahap menyantap sereal.

Asha mengangguk "Biasa. Penerbangan ku jam 1 siang ini. Kau takkan bisa melihatku selama 3 hari ke depan. Ah iya, jangan mencari ku!, jangan menelpon ku!. Setidaknya izinkan aku liburan juga selama berada di jakarta" tangannya sibuk menuangkan air putih ke dalam gelas dan meletakkan air putih di depan Maina.

Segera, Maina menyambar gelas itu dan menegak habis air di dalamnya. "Ah segarnya" Ucap Maina lega. Maina menyenderkan tubuhnya pada kursi dan melakukan peregangan ringan. "Kau mau ke penerbit?".

"Iya, ada rapat evaluasi mengenai penjualan Rerose edisi 2. Yang jelas seperti biasa, habis terjual. Tapi..." Asha melirik Maina yang tampak acuh tak acuh mendengarkannya.

Maina melirik Asha sekilas, tampak menunggu kelanjutan pembicaraan yang akan Asha sampaikan. Asha tersenyum, ternyata Maina masih peduli sedikit pada pekerjaan. "Tapi sepertinya akan ada projek baru. Sepertinya mereka mempersiapkan sesuatu yang luar biasa lagi. Tapi yang kali ini sepertinya lebih luar biasa dari yang sebelumnya"

Maina segera merubah posisi duduknya, tangannya menopang dagunya, tatapan matanya yang semula cuek nampak serius kali ini. "Tolak!" Singkat, padat, jelas. Hanya itu yang diucapkan Maina.

"Eyyyy! Ayolah, Na. Sudah berapa projek besar yang kita tolak. Setidaknya biarlah sekali ini. Ya?" Asha mencoba membujuk sobat keras kepalanya.

Masih dengan gestur tubuh yang sama, Maina menjawab tegas "No! Tidak ada projek apapun, jika mereka meminta ku segera menerbitkan buku baru, it's oke. But, tidak ada projek! Apapun itu"

Asha menghela nafas frustasi. Beginilah Maina, ia sangat benci berurusan dengan orang luar. Ah bukan, lebih tepat jika dibilang dia benci identitas dan keberadaannya diketahui. Namun alasan sesungguhnya mengapa gadis ini bersembunyi seperti buronan masih belum diketahui Asha hingga sekarang.

Asha sedang malas berdebat. "Jadi harus ku tolak lagi?" Asha berdiri hendak pergi tanpa menunggu jawaban Maina. Namun langkahnya terhenti "Oh iya, Korea!" ucap Asha.

Mata maina membulat terkejut, tiba-tiba tangan kanannya bergetar hebat. Segera Maina pindahkan tangannya kebawah meja. Maina coba meredam getaran di tangannya dengan menggenggam erat tangan kanannya dengan tangan kiri. Asha tidak boleh tahu, hanya itu yang ada di pikiran Maina kini. Jika Asha tahu, dia akan berada dalam bahaya.

Asha berbalik ke arah Maina, kembali dia duduk kembali ke depan Maina. "Kudengar mereka ingin menerbitkan bukumu di korea. Beberapa artis besar korea nampak mengunggah bukumu di akun media sosial mereka. Rerose bahkan menjadi trending di Korea"

Mata Asha nampak berbinar gembira, berbanding terbalik dengan Maina yang mencoba sekuat tenaga menahan luapan rasa takut di hatinya. "Apa kau percaya itu, Na. Rerose bahkan tidak pernah di terbitkan dalam bahasa inggris. Tapi mereka membaca bukumu!. Itu luar biasa sekali. Hebat!"

"Kudengar si, bukumu bisa sampai ke korea karena banyak artis Indonesia yang merekomendasikan. Bahkan mereka menjadikan bukumu sebagai hadiah. Jadi saat Rerose edisi 2 terbit, beberapa artis Indonesia berbondong-bondong membelinya untuk diberikan kepada artis Korea. Wah, itu gila banget si! Deabak!" Jelas Asha antusias.

Maina bergetar hebat. Ia mencoba menenangkan diri, tapi rasa takutnya tak mampu ia sembunyikan. Asha baru saja tersadar, gadis di depannya saat ini terlihat sangat pucat, tubuhnya bergetar, matanya nampak gusar berkaca-kaca. "Maina!" panggil Asha cemas.

Maina menoleh menatap Asha. Namun ia tak mampu lagi memendam perasaan takutnya, setetes air mata Maina lolos. Asha segera berdiri dan memeluk Maina. "Kau kenapa, Na? Aku disini! Aku disini! Jangan takut, Na! Kau aman!" ucap Asha mencoba menenangkan Maina.

***

P.s.

Asha, gadis berjilbab dengan kulit kuning langsat dan hidung mancung, adalah teman satu SMP Maina. Gadis cerdas lulusan Kedokteran umum Universitas Sriwijaya. Namun setelah wisuda, dia tidak melanjutkan pendidikan koasnya, Asha lebih memilih menjadi manajer sahabat baiknya. Lagipula menjadi manajer Maina selalu menyenangkan, kecuali jika Maina sedang dalam mood jelek.

Our DistanceKde žijí příběhy. Začni objevovat