Sheet 39 : Tired of Waiting

1.1K 239 20
                                    


Welcome to The A Class © Fukuyama12

Genre : Coming of Age


.
.
.

Sheet 39: Tired of Waiting

.
.
.

Kejadian semalam kembali berputar dalam pikiranya. Kalimat yang diucapkan oleh ibunya berputar di dalam telinganya seperti earworm. Namun, Sage yakin jika hal itu pasti akan menghilang, sama seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Sage sudah terbiasa dengan semua ini, jadi meskipun ia mengalami kejadian semacam itu dan melukai hatinya, luka itu akan tertutup dengan cepat. Hanya butuh beberapa waktu lagi, maka ia mungkin akan kebal dengan semua ini.Perkataan ibunya kemarin malam memang lebih menyakitkan daripada sebelumnya, ia mengakui hal itu. Ibunya mengangkat hal yang tidak pernah ia bayangkan. Sage merasa sangat marah sehingga membentak ibunya, ia jadi merasa bersalah juga. Seharusnya saat itu ia tetap tersenyum saja, seperti biasanya. Namun, jika ayahnya mengatakan hal yang serupa, mungkin Sage juga akan melakukan hal yang sama.Ayah dan ibu Sage punya pola asuh yang berbeda. Mereka saling berkata jika salah satu dari mereka tidak menganggapnya dan berkata jika dirinya lebih menyayangi Sage. Pada kenyataannya, Sage lebih suka jika keduanya saling menganggap satu sama lain.Sejujurnya, saat Mrs. Autumn mengatakan jika Sage adalah anaknya, pemuda itu bahagia. Ia tidak peduli meskipun wanita itu dikelilingi oleh pria-pria yang tidak ia kenali, tetapi wanita itu dengan bangga mengakuinya. Sage juga tahu jika ayahnya pasti akan melakukan hal yang sama di depan anak buahnya, bahkan di depan publik sekali pun."Meow~"Mata heterokrominanya terbelalak. Ada sesuatu yang hangat saat melihat Kucing belang itu mengeluskan kepalanya pada kaki Sage. Itu cukup mengejutkannya, karena kucing itu tidak pernah mau disentuh olehnya. Ini seperti sebuah kesempatan langka dalam hidupnya. Ia segera duduk dan membiarkan Maico naik ke pangkuannya. Kucing ini seperti mengetahui apa yang ada dalam hatinya."Apa kau mencoba untuk menghiburku?" tanya Sage. Sage pernah membaca jika seekor kucing dapat membaca perasaan majikannya. Kucing itu kembali mengeong dan membuatnya terhibur. "Terima kasih, Maico."---Mata emas yang indah dan berkilauan itu menatap langit-langit yang tidak asing baginya. Ia bangkit dan melangkah menuju pintu besi, lalu menengok pada jam dinding berwarna putih berukuran besar. Sudah hampir dua belas jam ia berada di sini. Jam makan siang sudah terlewati dan Zelts tidak merasa kelaparan. Ia sudah menghabiskan sekotak piza berukuran sedang seorang diri. Tidak ada orang lain di ruangan ini selain dirinya sekarang. Sebelumnya ada pemuda lain yang sedikit lebih tua dari dirinya, tetapi dia pergi sesaat sebelum Zelts memesan piza. Tepat setelah wali pemuda itu datang menjemputnya.Hanya ada sepotong piza yang tersisa dan saat ini sudah berpindah di antara kedua gigi Zelts. Pemuda itu bangkit dan membawa kardus kosong itu. Ia membuka kunci pintu besi dengan mudah dan melenggang keluar untuk membuang sampah di tangannya. "Aku heran kenapa kau tidak pulang saja." Ucapan itu membuat Zelts menoleh pada pria berseragam lengkap. Zelts memegang pintu jeruji besi dan menghabiskan kunyahan dalam mulutnya sebelum menjawab, "Peraturannya aku baru bisa pulang setelah dua belas jam jika tidak ada wali yang datang, kan?""Itu memang benar, tapi aku gerah melihatmu keluar-masuk dengan mudah. Memangnya itu kamarmu dan kantor polisi ini rumahmu?" sahut yang lainnya."Aku pikir aku sudah tidak dapat menghitung berapa kali kau keluar-masuk ke kantor ini. Aku juga heran, kenapa orangtuamu tidak pernah menjemputmu? Paling tidak, mereka seharusnya mengirim seorang wali untuk menjemputmu.""Sudahlah, Pak. Membicarakan mereka juga tidak akan membuat mereka kemari. Itu tidak ada gunanya," jawab Zelts santai. Orang-orang di kantor itu, baik polisi maupun karyawan, sudah mengenalnya dengan baik. Mereka bahkan sudah hafal jika tidak akan ada yang menjemputnya lagi setelah kejadian penamparan dua tahun yang lalu itu."Begini-begini, Zelts itu berguna juga, ya? Aku tidak menyangka jika dia benar-benar bermanfaat untuk menangkap anak-anak nakal. Bahkan saat itu ia berhasil memberitahu tempat pengedaran obat terlarang," puji yang lain."Tentu saja. Jangan meremehkanku! Lagipula aku tidak punya pekerjaan lain di rumah. Lain kali jika ada pelanggaran lain akan aku panggil kalian. Serahkan saja padaku!" Zelts tidak sepenuhnya berbohong. Ia membantu polisi untuk menangkap pengedaran narkoba dengan memberitahukan posisinya. Meskipun sebenarnya ia tidak mendapatkan imbalan apapun. Zelts tidak terlalu peduli, ia hanya ingin mengambil kesempatan untuk berada dalam sel yang sudah ia anggap sebagai kamarnya sendiri.Zelts menghela panjang hingga akhirnya memutuskan untuk bangkit bersama dengan kotak pizanya yang kosong. Ia membuangnya pada tempat sampah abu-abu yang tepat berada di depan selnya. Ia menatap kosong pada sel yang ada di belakangnya.Ternyata meski ia sudah menunggu lama mereka yang ia tunggu tidak kunjung datang untuk menjemputnya. Zelts menutup pintu bui itu dan menguncinya dengan kedua tangannya sendiri. Kali ini, ia tidak masuk kembali dan memilih untuk berjalan ke dalam kantor."Sudah mau pulang? Tidak ingin di sini lebih lama lagi? Mungkin saja orangtuamu akan datang!" canda mereka saat melihatnya mengambil kunci motor merah yang ada di dalam loker.Zelts tersenyum miring. "Tidak, terima kasih. Besok aku harus sekolah.""Oh, bagus-bagus! Belajar dan jadi anak pintar, ya?"Zelts mengiyakan dengan nada panjang di akhir. Ia berjalan menuju garasi yang ada di belakang kantor. Karena terlalu lama mengenal tempat ini, ia jadi hafal seluk-beluknya. Mulai dari di mana mereka meletakkan kunci hingga tempat penyitaan kendaraan. Ia sudah hafal di luar kepalanya.Saat itu Zelts sangat takut, tentu saja. Itu adalah kali pertamanya masuk ke dalam kantor polisi dengan label pelanggaran hukum. Meskipun ia sengaja menyerahkan dirinya, ia tetap tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah mereka mencoba untuk menelpon kedua orangtuanya.Sebenarnya saat itu ia hanya mencoba membuktikan satu hal. Ia ingin membuat taruhan kepada dirinya sendiri. Ia ingin membuktikan apakah orangtuanya akan datang jika ia terkena masalah dengan kepolisian. Saat itu ia juga sedang dalam kondisi yang buruk secara psikis.Ketika orangtuanya datang saat itu, ia sedikit tidak percaya, tetapi juga--sebenarnya ia tidak ingin mengakuinya--bahagia. Meskipun bayarannya adalah sebuah tamparan keras yang membuat pipinya membiru dan membuat seluruh pasang mata menoleh karena suara debaman.Sebut saja dirinya masokhis karena merasa senang saat menerima pukulan itu. Rasanya sangat sakit hingga membuatnya ingin menangis, tetapi ia bahagia. Orangtuanya datang untuk melihatnya. Itu berarti mereka masih mempedulikannya. Jika saat itu ia menangis, maka ia tidak akan tahu apakah itu air mata karena kesakitan atau malah sebaliknya.Hanya pada saat itu saja orangtuanya datang. Pada kali kedua hingga saat ini--Zelts juga lelah menghitung, mereka tidak datang. Namun entah kenapa, ia tidak lelah menunggu. Mungkin saja suatu saat nanti mereka akan datang memarahinya lagi. Ia tidak peduli meskipun nanti telinganya mendengarkan perkataan kasar alih-alih sebuah pujian.

Welcome to Class AOnde histórias criam vida. Descubra agora