5

4.4K 586 22
                                    

Kali awal Bundanya beri dua lembar foto di ruang kerja, napasnya dihela panjang-panjang. Terlalu malas dan lelah dipasang-pasangkan oleh Bundanya. Jeongguk tak tertarik, pada semua wanita yang Bundanya coba pasangkan dengannya. Pikirnya tidak penting, ia masih harus meniti karir; jalannya masih panjang.

"Ini anak keluarga Kim, rekan Ayahmu dari dia masih kuliah." jelas Bundanya. "Ini fotonya."

Beri kedua lembar foto padanya. Jeongguk lihat sekilas, angguk paham karena ia pernah bertemu dengan kepala keluarga Kim itu; satu, dua kali. Pasang mata gelapnya menatap satu-satu wajah yang ada di foto keluarga. Berakhir tatap lama foto anak lelaki yang berdiri dengan senyum manis.

"Ini, yang akan Bunda jodohkan ke kamu." Bundanya tunjuk anak perempuan yang berdiri disamping lelaki manis yang ia perhatikan. "Namanya Jennie, Kim Jennie. Kamu mungkin pernah lihat atau bertemu. Beberapa kali ke rumah kita waktu acara."

Jeongguk sepenuhnya abai dengan foto perempuan di lembar sebelah foto keluarga Kim itu. Fokuskan atensi pada wajah anak lelaki yang manis itu.

"Ini kakaknya? Atau adiknya?" tanya Jeongguk sambil tunjuk foto anak lelaki yang usik perhatian.

Bundanya tersenyum tipis, berpikir kalau anaknya mau lebih dekat dengan anak perempuan keluarga Kim hingga ingin tahu juga soal saudara lelakinya. "Itu adiknya, masih kuliah. Namanya Kim Taehyung. Anaknya manis, Bunda beberapa kali bertemu. Sering antarkan Mamanya ke rumah kita."

Jeongguk yang mendengar itu ingin tersenyum kecil. Pasti manis sekali kalau melihat anak itu secara langsung.

"Coba dulu ya, Guk, sama Jennie?" Bundanya bertanya, memastikan. Jeongguk lirik sebentar, angkat bahunya.

"Kalau abang nolak juga pasti Bunda tetep lanjutin. Jadi, percuma."

Bundanya tersenyum tipis, terselip rasa bersalah. Lantas beranjak dari sofa panjang dan pamit; tak hilangkan senyum dari wajah.

"Bunda pamit, semangat kerjanya." Kecup pipi kanan-kiri dengan gemas kemudian pergi.

"Abang!" teriakan adiknya yang baru masuk kejutkan dirinya. Astaga, adiknya kebiasaan sekali.

Adiknya itu memang setiap pulanh sekolah pasti mampir ke kantornya; tak ingin di rumah sendirian katanya. Berakhir tertidur, habiskan makan, dan mengganggu Jeongguk di ruangan.

"Somi tadi ketemu Bunda," Somi meniti langkah ke arah sofa, empaskan badannya disana. "Di jodohin sama siapa kali ini?" tanyanya jahil. Terlampau paham alasan Bundanya datang ke kantor kakaknya, pasti urusan pasangan.

"Tuh, lihat sendiri." tunjuk Jeongguk pada dua foto yang sengaja ditinggal oleh Bundanya tadi.

Ambil kedua lembar foto tadi, Somi memekik gemas setelahnya, "Ih, kakak ini manis senyumnya!"

Kerutkan dahi, Jeongguk bertanya, "Yang mana?"

"Yang laki-laki! Manis senyumnya, Somi suka!" Bibir adiknya sudah sibuk bubuhkan ciuman gemas pada lembar foto keluarga itu. "Di jodohin sama dia, ya? Nggak apa, Somi terima lahir batin, jiwa dan raga. Somi setuju!" Acungkan jempol dengan semangat dan senyum lebar.

Jeongguk yang tadinya tersenyum kecil karena tingkah adiknya kembali masam, "Bukan sama dia."

"Lah? Jadi sama siapa dong?" Bibirnya dimajukan, merengut karena merasa tidak akan bertemu dengan kakak manis yang ada di foto.

"Sama yang disampingnya." jawab Jeongguk pelan.

Somi empaskan kedua foto tadi. Hela napas panjang lihat ekspresi kakaknya yang sepertinya malah menyukai saudara dari perempuan yang dijodohkan dengannya. Ini bakalan rumit.

"Abang nggak ngomong sama Bunda?"

Gelengan yang didapat Somi sebagai jawaban.

Somi berdecak. Astaga, urusan orang dewasa ternyata serumit ini. Sedikit lega karena ia masih sekolah menengah atas, setidaknya ada jeda cukup panjang sebelum di fase yang sama dengan kakak lelakinya.

"Bunda pasti nggak terima kalau abang maunya sama dia." terang Jeongguk. "Bunda bilang juga coba aja dulu. Jadi, nggak apa menurut abang. Abang bisa pastikan dulu abang bener-bener into him atau enggak."

Terdengar sangat pasrah sekali kakaknya ini, astaga. Somi gemas. Buat note dalam hati dan pikiran kalau ia harus bantu kakaknya itu lebih dekat dengan anak laki-laki manis itu.

"Kamu kan, yang kasih nomor kakak ke dia?" tuduh Jeongguk langsung, begitu Somi selesai pasang seatbelt.

Somi tersenyum lebar, "Iya," kekehannya terdengar tak lama. "Keren, kan?"

Jeongguk walaupun sedikit kesal dengan tingkah adiknya yang seenaknya beri nomornya ke Taehyung, tak bisa untuk tidak tersenyum kecil. Perasaan hangat lingkupi dadanya. "Iya, kamu keren."

"Gimana tadi waktu kak Tae telepon?"

Mobil mulai berjalan, tembus jalanan Seoul yang cukup padat di sore menuju petang. Cuaca cukup mendung, buat orang-orang semakin ramai di jalan ingin pulang.

"Kaget." jawab Jeongguk pendek. "Abang hampir jantungan waktu denger suaranya."

Somi terbahak keras, "Astaga." Hadapkan badan sepenuhnya ke Jeongguk, pasang senyum jahil seraya naik-turunkan alis untuk menjahili kakaknya. "Terus? Waktu makan bareng tadi, gimana?"

Padahal udara luar cukup dingin, tapi pipi Jeongguk memanas. Terbayang wajah manis adik tunangannya yang tadi datang ke kantornya. "Abang nggak berani ngeliatin." jelasnya. "Abang bingung mesti ngapain."

Somi kembali loloskan tawa, "Astaga. Lucu pasti." Kembali empaskan punggunya ke kursi, Somi tiba-tiba memekik karena teringat suatu hal. "Oh, iya, abang nggak penasaran sama soal tadi?"

"Soal apa?" Lirik sekilas ke arah adiknya, kemudian alihkan ke depan. Fokus menyetir.

"Yang cinta abang nggak bertepuk sebelah tangan itu, lhooo." Somi panjangkan nada karena gemas.

Jeongguk berdeham beberapa kali, "Oh—ehm, soal  itu, ya." Tarik napas dalam-dalam sebelum lanjutkan, "Gimana ceritanya?"

Somi tersenyum lebar, "Katanya dia liat abang pertama kali di mall. Tahun lalu, waktu kita belanja sebelum ketemuan sama kak Rose, perempuan ke limabelas yang dijodohin sama abang itu."

Jeongguk kerutkan dahi, tampak berpikir untuk mengingat momen itu. Sekejap kemudian hilang karena teringat, "Oh, itu. Terus?"

"Terus itu, kak Tae bilang, kak Tae liat abang nurut banget waktu Bunda suruh-suruh; perhatiin waktu jagain pintu mall buat orang-orang." jelas Somi sambil menatap kakaknya dengan pasang senyuman lebar.

Binar matanya terlihat penuh bahagia kala melihat wajah kakaknya semakin memerah. "Dia bahkan simpan foto abang waktu itu." tambahnya.

Jeongguk makin-makin memerah.

"Ah, tapi," Somi teringat akan suatu hal. "Kak Tae nggak liat muka abang waktu itu, jadi kak Tae nggak tau kalo yang dia taksir itu abang."

Ada yang retak tapi bukan telor. Iya, barusan bunyi kretek itu suara hatinya Jeongguk, kawan.

[]

hardWhere stories live. Discover now